Hari ini, aku ulang tahun. Biasanya aku akan menghabiskannya dengan Arya, kini aku akan menghabiskan waktuku dengan Silma dan Indah.
“Ki, Indah kapan datang?” suara Silma langsung menghancurkan imajinasiku tanpa permisi. Tangannya yang sibuk menggoyangkan sapu lantas berhenti sejenak. Matanya sedikit memincing saat ia mendapati tanganku hanya sibuk bermain busa ketimbang mencuci piring.
Aku berdeham pelan seolah tertangkap basah, kemudian buru-buru melanjutkan dengan mengusap busa ke piring. “Kurang tahu, kamu mau cek ponselku?” tawarku.
“Ting-tong” aku melirik Silma dengan senyum merekah.
“Tolong buka pintu Sil, kayanya order-anku,” pintaku dengan riang. Silma menyandarkan sapu ke tembok dan melangkah membuka pintu. Sayup-sayup diantara suara gemricik air aku mendengar suara Silma yang tengah asik berbicara serius dengan siapapun sosok di depan pintu.
“KIII!” aku mengerutkan dahiku sambil melempar pandangan ke arah lorong meunju pintu depan. “Perasaan udah aku bayar pakai e-wallet”
“Pakai uangmu dulu!” seruku.
“Kamu akhirnya pesan kue juga?” tudingan Silma membuatku terkejud. Bibirku terbuka tanpa sadar saking shocknya, memandangi Silma yang sudah kembali dengan satu kue tart berwarna-warni, membuat sakit mata. Kue dengan warna pelangi.
“Dari siapa?” buruku sambil mencuci tangan, buru-buru merapat ke arah Silma.
“Loh? Bukan kamu yang pesan?” Silma balik bertanya, sambil perlahan melangkah ke arah meja makan dan menaruh kue disana.
“Ki, kayanya dari pelangi deh. Lihat,” Silma menunjuk amplop yang direkat dengan isolasi bening di tutupnya. Buru-buru aku meraih amplop tersebut, dan membukanya.
“Terima kasih, “Pelangi” tengah memperisiapkan diri untuk datang kepadamu.”
Membacanya tanpa sadar aku menepuk dahi.
“EH!” Silma berseru riang setelah ikut membaca isi surat dari “Pelangi”, barang kali Silma tengah kegirangan. Aku melirik sahabatku yang seolah mendapatkan surat tersebut, padahal aku yang dapat.
“Sil, kemarin aku ada bahas sama Doni, Giri, Dimas,” gumamku.
“Oh ya?” Silma melotot heran. Sebenarnya kalau aku jadi Silma bakal melotot heran juga. Tak lama kemudian dahi Silma berkerut, dia tidak mengenali siapapun yang aku sebutkan tadi. Namun, bukan Silma namanya kalau ambil pusing. Dia lebih penasaran sama isi percakapannya ketimbang tokoh yang terlibat dalam percakapan.
“Aneh bukan, bagaimana bisa ada orang yang tahu dimana alamat rumah kita?” tanyaku.
“Eh, iya...,” Silma menautkan alisnya seolah sudah tersadar.
“Dan kita udah mempersilahkan dia untuk datang. Bisa jadi dia sikopat yang menunggu kita welcome sama kedatangannya...,” aku mulai menerangkan panik.
“Kamu kayaknya kebanyakan nonton film horor deh,” nilai Silma yang tidak membantu sama sekali.
“Nanti kalau kuenya beracun gimana?”