Aku, Hujan, dan Pelangi

Calse Ratnasari Soegiarto
Chapter #10

Menerima?

Rasa-rasanya, aku masih begitu ragu terhadap Kak Angga. Seolah, bukan dia sosok yang berada di balik “Pelangi”. Aku tidak percaya, takut mencoba membangun relasi dengannya.

Bagaimana bisa kita berusaha mengobati luka hati kita dengan orang yang tidak kita percaya mampu melakukannya? Bukannya hanya menambah luka baru?

           Sambil menyandar pada dinding kamar, aku memandangi kalender akademik perkuliahan. Dua hari lagi sudah memasuki libur antar semester. Teringat aku pada telepon Bunda dua hari lalu.

           Aku mendesah lelah, berniat meminum air putih, sampai telingaku mendengar suara-suara ramai dari depan pintu. Ku longokkan kepalaku dan kudapati trio matre tengah berada di ruang tamu dengan Silma di antaranya.

           “Sil?” aku memanggil ragu, agak terganggu dengan keberadaan trio matre.

           “Nah!” Dion membuka suara dengan kencang, matanya berkilat melihatku, seolah aku adalah sosok yang sangat ingin dia lihat hari ini.

           Aku menatap Dion dengan menyipit.

     “Ki, kamu sudah menemukan jawaban?” tanya Silma sambil berdiri dari duduknya, menghampiriku. Kujawab pertanyaanya dengan gelengan singkat.

           “Terima,” Giri mengucapkan dengan penuh hikmat, yang seolah diamini oleh semua orang di ruang tamu. Kecuali aku. Perlahan dahiku berkerut dalam, memandangi trio matre dan Silma secara bergantian.

           “Sejak kapan mereka tahu rumahku? Sejak kapan kalian kumpul bareng? Sejak kapan kalian jadi teman?” aku bertanya heran.

           “Kemarin, kami mengejar kamu. Kamu malah nglonyor pergi gitu aja. Ternyata yang ngejar kamu enggak hanya kami bertiga, tapi juga ada satu cewek. Yaudah kita kenalan,” Dimas menjelaskan sambil melempar senyum manis ke arah Dion.

           Refleks aku mendelik penuh ancaman ke arah Dion. “Awas kalau main-main sama Silma.” Ancamku di dalam hati. Seolah dapat mendengar suaraku. Dion mengangguk takut dengan cepat.

           “Kalau menurutku, Ki. Kamu terima saja.” Kutatap Silma dengan merana. Mataku terasa pedih. Bagaimana Silma berpendapat demikian, aku bahkan belum cerita apapun padanya mengenai keraguan perasaanku. Salahku juga, mengurung diri di kamar dari kemarin.

Lihat selengkapnya