Hal terakhir yang aku ingat tentang rumah, merupakan tempat yang nampak begitu hangat, tetapi ada banyak kepulan kabut duka didalamnya. Sesungguhnya, apabila diizinkan, aku tidak ingin kembali. Namun, tabu rasanya kepada adik kandung Ibuku yang sudah merawatku sedari kecil. Namanya ialah Anita, kini aku memanggilnya Bunda.
Seusai aku keluar dari staisun kereta api, aku menyusuri jalan lebar yang lenggang, mencegat angkutan umum di pinggir jalan. Sudah dua tahun berlalu setelah aku melarikan diri dari tempat ini, dan tempat ini sudah berkembang. Suasana jalanan yang awalnya lenggang, kini jauh lebih padat, riuh mesin kendaraan bermotor, serta bau debu yang semakin pekat. Bangunan-bangunan lama sudah berubah, mengikuti tren model yang minimalis dan elegan. Toko penjaja makanan kini dipermak dengan interior modern. Dua tahun, sebenarnya tidak terlalu lama, tetapi perubahannya sudah banyak sekali.
Sekitar lima belas menit, aku menghentikan kendaraan umum, dan menjejaki jalan beraspal yang masuk dari jalan raya. Sekitar lima menit berjalan, mataku menangkap bangunan yang selalu kukenang di dalam benakku, walau catnya kini berubah dengan dominasi warna biru laut dan putih.
Kugeser pintu pagar, seolah tengah dinanti-nantikan, seorang wanita tua berlari ke depan, dengan rambut dicepol diatas, ia tersenyum. "Senangnya! Anak Bunda yang paling kecil sudah pulang!", suara Bunda menyambutku dengan hangat, sehangat senyum tulusnya yang membuatku teringat akan mentari fajar. Mataku sedikit panas, saat kehangatan yang begitu aku rindukan menyusupi relung hatiku.
"Bunda, Kiara pulang," bisikku serak. Tubuh Bunda yang lebih mungil, berupaya membungkusku dengan ribuan rasa kasih. Didalam dekapannya, aku bergumam penuh syukur. Ada tempat, yang selalu menyambutku dengan cinta. Tempat itu ialah Bunda.
"Akhirnya kamu pulang, Ki." Bunda melepas pelukannya, mengusap wajahku, sebelum menambahkan "Kamu telah berjuang dengan keras. Kamu hebat," Aku tersenyum kecil, tidak terasa air mata menitik diam-diam dari mataku.
Sudut ekorku tanpa sadar menangkap tatapan menusuk dari dua pasang mata yang mengawasiku sedari tadi dari dalam rumah. Dua pasang mata milik dua anak kembar yang usianya dua tahun diatasku. Keduanya anak kandung Bunda. Kak Yohana dan Kak Joan. Musuh terbesarku di rumah.
"Kiara pasti haus ya? Joan bikinkan minum dulu ya, Bunda?" Kak Joan mengintrupsi momen-momen penuh haru antara aku dan Bunda.
"Bunda, bukannya tadi goreng tempe?" kali ini Kak Yohana bertanya dengan tatapan bingung. Kulihat Bunda menepuk dahinya, kemudian tersenyum padaku.
"Bunda lanjutkan memasak dulu, ya. Kamu ngobrol-ngobrol dulu sama Yohana. Pasti Kakak kamu kangen sekali," Bunda berjalan ke dalam dan menepuk Kak Yohana yang masih berdiri jauh, menjaga jarak denganku.
"Kamu berani juga, ya Ki?" gumam Kak Yohana setelah beberapa menit keheningan terasa mencekam. Senyum sinis, yang hanya ia tampilkan padaku, akhirnya muncul kembali. Tanpa sadar aku tersenyum miring, Apa yang aku harapkan?
"Kali ini, aku benar-benar akan membuatmu trauma untuk pulang. Kamu kira, masalahmu mengenai Arya sudah selesai?" Kak Yohana mengipaskan tangannya di depan wajah, sambil tersenyum menahan tawa menghina, "kamu keliru besar," ucapan Kak Yohana sukses membuatku mematung.
Teringat padaku, kenangan traumatik terakhir yang membuatku memutuskan kabur selama dua tahun. Barangkali wajahku sudah terlalu pucat, sehingga kini Kak Yohana tengah tertawa pelan dengan puas. "Harusnya Joan disini, melihat ekspresimu. Semakin pucat, semakin kami ingin..., membuatmu membayarnya," desisnya.
"Nak Kiara sudah pulang?" Ayah yang tiba-tiba saja muncul dengan sarung melilit pinggang berhasil menyelamatkanku dari benaman memori traumatik dan ancaman dari Kak Yohana. Kak Yohana berdeham, senyum liciknya masih nampak sedikit.
"Aku bantu Bunda goreng tempe dulu ya, Yah?" Buru-buru Kak Yohana melangkah kedalam. Ayah memandangi kepergian putrinya dengan senyum bangga.
"Sekarang Yohana sudah suka masak, anak Ayah kini sudah semakin dewasa," komentarnya sambil membantuku membawa koper. "Bagaimana kabarnya Kiara?" tanya Ayah. Meskipun aku memanggilnya Ayah, aku tidak akan pernah mendapatkan kehangatan sebesar Kak Yohana dan Kak Joan, karena aku bukan anak kandungnya.
"Baik sekali Yah, terimakasih," ucapku sopan sambil mengikuti Ayah masuk. Didalam hati aku merasa kasian kepada Ayah, putrinya yang nampak seperti malaikat sebenarnya jauh dari apa yang ia bayangkan.
***
Keringat dingin membanjiri tanganku yang tengah dipegangi oleh Kak Yohana dan Kak Joan. Mereka berjalan dengan tergesa, menyeret tubuhkuku yang terasa kaku dan gemetar ketaktuan. Kami berhenti di depan rumah yang sangat aku kenali, pintu kayu didorong dengan kasar oleh Kak Yohana. Setelah itu Kak Yohana menyeretku kedalam sebuah ruangan, mengunci pintu dari luar, meninggalkanku sendirian di dalam, tanpa penerangan sama sekali.
Aku meneguk ludahku takut-takut, berusaha menggedor pintu dan berteriak meminta tolong. Berharap ada yang mendengar suaraku dan membukakan pintu. Teriakanku terhenti, saat suara sentakan gorden yang keras mengejutkanku. Cahaya dengan sadis menusuk mataku, kepalaku terasa pening karenanya.
Dari cahaya yang terang itu, muncul siluet seorang wanita dengan rambut yang di gulung tinggi-tinggi. Mataku harus menyesuaikan diri terhadap cahaya sehingga membuatku menyadari siapa sosok dalam bentuk siluet tersebut. Mataku terbelalak saat berhasil menangkap bentuk wajahnya dan menangis ketakutan .
“SIALAN!!! ANAK SAMPAH!!! KARENA KAMU SAYA KEHILANGAN PUTRA SAYA SATU-SATUNYA!!!” plak, tamparan keras mendarat di pipiku.
“Tante, maafkan saya tante, maafkan saya,” gumamku sambil memohon, berlutut di hadapannya.