Aku, Hujan, dan Pelangi

Calse Ratnasari Soegiarto
Chapter #13

Buku Tentang Hujan

“Jangan pernah biarkan hujan membuatmu terlarut pada kesedihanmu”

           Tulisan rapih milik Arya, menuliskan satu deret kalimat yang mebuatku teringat akan peristiwa manis antara aku dan ia. Saat itu, hujan sedang deras. Aku dan Arya masih di Sekolah Menengah Atas. Ia menatapku kecewa, seolah ia tidak menduga, aku akan menjadi seorang pecundang, terutama di bawah derai hujan. Tangannya mengulurkan satu payung lipat berwarna merah, sementara senyum diwajahnya mengiba.

           ‘Jangan pernah biarkan hujan membuatmu terlarut pada kesedihanmu’ ucap Arya kala itu. Ia berusaha membuatku menjadi pemenang, bangkit dari keterpurukanku. Namun sakit di balik dadaku lebih kuat, sehingga aku memukulnya, mendorong bahunya dan berseru.

           ‘Memangnya apa yang kamu ketahui?’, air mataku berderai, tetapi tertutup hujan. Tubuh Arya kaku di tempatnya, upaya dorongaku nampak menyedihkan seperti mengguncang-guncang pohon kokoh. Lelah dengan upaya menahan doronganku, Arya menangkap pergelangan tanganku, dalam satu kali hentakan, ia memelukku. Aku tersentak, terjatuh dalam pelukannya dengan kasar.

           “Setelah itu, apa yang terjadi ya?” gumamku pada diri sendiri, seulas senyum getir muncul di wajahku. Perlahan aku membalik lembar pengantar, tanganku mengelus lembut sebuah foto yang menampilkan potret setengah badan wajahku, yang menatap hujan penuh sendu, dalam balutan pakaian putih abu-abu. Catatan Arya tertulis : “Entah mengapa, sosokmu yang menatap hujan, nampak sangat indah. Apakah aku harus menjadi hujan agar kamu menatapku dengan cara yang sama?”

           Teringat, Arya pernah berkata jika ia menyukai sisi melankolisku yang menikmati hujan. Ternyata, ia sempat mengabadikan sisi melankolisku. Terbayang olehku, bagaimana diam-diam Arya memandangiku dan mengagumiku dari jauh. Senyum hangat muncul samar-samar di wajahku. Kubuka lembar selanjutnya. Foto di lembar kedua, membuatku teringat akan awal aku berjumpa dengan Arya.

***

           Waktu menunjukkan pukul empat sore, seharusnya sekolah sudah sepi. Hanya saja, akan selalu ada siswa yang tetap duduk-duduk di area sekolah, menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas, ekstra kulikuler, atau menunggu jemputan.

           Entah sudah berapa lama aku duduk di bangku semen depan kelas, mengamati langit yang perlahan mulai menjadi kelabu. Perlahan, suara gemuruh guntur diiringi suara riuh hujan yang menghantam atap sekolah. Disela-sela lamunanku menikmati suasana hujan tersebut, aku menangkap bunyi berisik di lapangan. Bunyi dari bola basket yang dilempar terus menerus ke arah ring, dan memantul menjauh. Memantul dan seolah putus asa untuk mencetak gol.

Lihat selengkapnya