Setelah aku pulang, aku membuka beberapa lembar lagi di atas tempat tidur. Beberapa diantaranya adalah fotoku saat sedang aktif menjadi panitia OSIS, dan beberapa tulisan Arya yang isinya curhatan hatinya atau komentarnya mengenai diriku saat itu. Foto terakhir, mungkin adalah penyebab mengapa aku bermimpi mengenainya, padahal biasanya aku bermimpi buruk, atau bahkan tidak mimpi sama sekali. Foto itu bergambar pohon di dekat tempat parkir sepeda motor, suasana nampak lenggang, dan foto berfokus pada origami berbentuk hati.
***
‘Aku suka kamu,’ Arya menatapku tegas, matanya nampak serius. Aku tersenyum kecil, merasa Arya tengah bercanda. Selama ini aku bertindak sinis padanya. Mana ada orang yang jatuh cinta pada sosok yang sinis dan dingin sepertiku?
‘Kenapa?’ tandasku dingin dan singkat. Seperti yang sudah-sudah.
‘Memang cinta butuh alasan?’ pertanyaan Arya membuatku bungkam beberapa saat. Justru tanpa alasan membuat cinta nampak keliru. Sama seperti awal kisah cinta Ibu dan Bapakku.
Aku menggeleng ‘Aku sudah sering dengar alasan pernyataan cinta demikian, ada dari mereka yang keliru. Aku rasa kamu juga. Ada ratusan wanita yang berbaris untuk menjadi pacarmu. Liana calon gadis sampul majalah remaja wanita se-Indonesia saja sampai menaruh hati padamu,’ terangku.
‘Memangnya, kenapa jika Liana jatuh cinta padaku? Bukan dia yang aku sukai. Tetapi kamu.’ Sekali lagi Arya berkata dengan tegas.
Kembali aku menggeleng. ‘Kamu mungkin urung jatuh cinta padaku, saat tahu diriku sesungguhnya. Kamu hanya menyukai permukaanku saja,’
Arya tersenyum manis, ia menunduk dan menggaruk tengkuknya yang entah mengapa aku yakin tidak gatal. Kemudian matanya menatapku dengan penuh keyakinan.
‘Aku bertekad untuk tetap mencintaimu, meski segalanya menjadi serba rumit dan salah.’ Aku mengerjapkan mataku sambil sedikit membuka bibirku seolah takjub dengan ucapan Arya. Jelas aku jengkel, bagaimana bisa orang begitu ingin mencintai seseorang yang tidak ia kenali dengan betul?
‘Terserah lah,’ gumamku lelah. Arya menyodorkan sebuah helm berwarna hitam. Senada dengan helmnya.
‘Ayo, kita sudah di tunggu yang lainnya.’ Arya menggunakan helmnya, begitupula aku. Kemudian Arya menyalakan mesin, aku naik di bagian boncengan, dan kami pergi ke lokasi bakti sosial acara OSIS. Menghibur tawanan yang sudah lama tidak dijenguk.
Selama perjalanan, aku lebih fokus pada jalanan, udara, dan bangunan-bangunan yang kami lewati, ketimbang mengajak berbicara Arya. Aku masih kesal dan tidak habis pikir dengan jalan logika Arya. Orang yang dapat mencintai tanpa alasan dan ngotot untuk tetap mencintai.
Tanpa sadar, aku menghelakan nafasku penuh syukur saat melihat bangunan dengan tulisan “RUMAH TAHANAN” yang dipasang besar di dinding depan. Aku dapat melihat antrian berseragam putih abu-abu. Seragam anak OSIS.
Perlahan aku berjalan, ikut mengantri di bagian Informasi, memberikan kartu siswa. Arya mengekor di belakang. Setelahnya kami duduk di tempat tunggu sampai dipanggil oleh petugas.