Aku menggeleng tidak habis pikir, bukannya pulang, aku malah terduduk linglung di bangku tunggu depan lapas. Langit nampak mendung, sebentar lagi hujan.
“Ki?” Aku menoleh, menatap Lintang yang menatapku ragu. Diantara semua orang, bukannya menghubungi Silma, aku malah menghubungi Lintang dan memutuskan untuk meminta keterangan darinya.
“Tang,” Aku tersenyum ironi, memandangi wajahnya yang khawatir.
“Kenapa, ada apa, Ki?” tanya Lintang sambil meraih tubuhku dan memeluknya. Aku menangis di dalam pelukannya. Semenjak kepergian Arya, semua orang tahu jika Bapak adalah seorang pembunuh, kecuali Kak Joan dan Kak Yohana. Itu sebabnya, Lintang tidak banyak bertanya mengapa aku bisa di rumah tahanan.
“Arya, dua tahun yang lalu datang ke Bapak. Dia minta restu buat lamar aku,” bisikku, sementara suaraku menjadi pecah di akhir kalimat. Perlahan aku mendorong Lintang dan menatap matanya menuntut jawaban “kamu tahu?” tanyaku.
Lintang mengerutkan dahinya dalam, sebelum akhirnya mengangguk. Aku melepas pelukanku, “Kenapa gak ada yang bilang!” teriakku nyaris histeris.
“Aku dan Silma sepakat, karena kondisimu saat itu gak baik-baik saja, Ki.” Aku mendorong Lintang menjauh, sementara hujan mulai deras.
“Setelah menyembunyikan lokasi makamnya, sekarang menyembunyikan fakta bahwa Arya sering mengunjungi Bapak dan terakhir kunjungan Arya meminta restu darinya, lalu apa lagi? APA LAGI YANG KAMU SEMBUNYIIN, TANG!” aku berteriak keras. Lintang mengusap wajahnya. Nampak serba salah. “Apa kamu masih menyukaiku dan menyembunyikannya dariku?”
Aku berlari menerabas hujan.
“KI!” Lintang berteriak dari tempatnya duduk, lantas berlari mengejarku. Terlarut akan suasana hatiku yang hancur, aku menyebrang jalan tanpa hati-hati. Untungnya, Lintang berhasil menarikku dengan keras. Kami berdua terjatuh diatas trotoar, sementara suara klakson mobil memekakan telinga. Sayup-sayup aku mendengar sumpah serapah pengemudi yang nyaris menabrakku.
“Astaga Tuhan, KI! Kamu udah gila, ya!” Lintang menatapku dengan penuh amarah, matanya memerah. Sementara tubuhku bergetar, terlintas kenangan bagaimana Arya meninggal dengan berusaha menyelamatkanku dari kecelakaan mobil di depan sekolah. Saat itu, aku tidak berhati-hati dalam menyebrang. Suasana jalan sangat sepi karena libur semester, aku buru-buru menyebrang saat melihat Arya, tidak sanggup menahan rindu setelah sekian lama kami tidak berjumpa. Entah bagaimana, sebuah mobil mengendarai dengan kecepatan diluar batas rata-rata, nyaris menabrakku, jika Arya tidak mendorongku, dan mengorbankan dirinya.