Saat aku terbangun, aku sudah berganti pakaian, di atas tempat tidur yang aku ingat milik Silma. Wajah Silma menatapku cemas. “Gimana kondisimu, Ki? Sudah baik?” tanya Silma sambil menyodorkan segelas teh hangat. Aroma melati menguar memenuhi ruangan, saat tutup gelas dibuka. Aku tersenyum samar, kemudian memilih diam kembali.
“Lintang tadi yang hantar kamu pulang. Dia cerita, alasan kamu mengalami shock mental lagi,” terang Silma.
Air mata mulai membanjir kembali dari pipiku, kupandangi Silma lekat, sebelum akhirnya aku bergumam.
“Kamu, selama dua tahun bersamaku, Sil. Mengapa kamu tidak pernah cerita?” aku berbisik serak.
Silma memilih diam di tempat duduknya, menatap mataku dengan berkaca, nampaknya Lintang sudah cerita apa yang tengah terjadi padaku. Ada rasa bersalah dari Silma yang dapat aku rasakan. Kami berdua terbiasa saling berbagi rasa tanpa bercakap, sehingga aku tahu betul Silma merasa bersalah atas perbuatannya.
“Maaf, Ki. Saat itu, aku dan Lintang berpendapat, jika lebih baik kamu tidak mengetahuinya lebih dahulu,” ungkap Silma. Aku menghela nafas dan memandang dinding kamar dengan muram.
“Lintang dimana?” tanyaku kemudian.
“Lagi tuang mie ayam mungkin. Tadi dia pamit mau beli, buat kamu,” Aku memilih diam tanpa berkomentar.
“Sil,” panggilku enggan, setelah menyesap teh dan membiarkan kehangatannya memenuhi tanganku yang kedinginan.
“Ya?” sahut Silma.
“Apa kamu tahu, Lintang pernah suka sama aku?” tanyaku tiba-tiba sukses membuat mata Silma terbelalak, ekspresi wajahnya nampak terkejud dan terluka. Seolah terkoneksi, dengan mudahnya aku dapat merasakan jika Silma tengah memiliki rasa pada Lintang, dan ucapanku membuat Silma menyadari fakta, jika di hati Lintang, sejak awal tidak ada dirinya, melainkan aku.
Buru-buru aku meneguk ludah, menepis pikiran dan perasaan yang tersampaikan padaku barusan. Bagaimanapun caranya, lebih baik aku tidak menduga jika Silma tidak mengkonfirmasi faktanya.
“Ki, sudah bangun?” sapa Lintang sambil membawa mangkuk mie. Lintang menaruh mangkuk di almari sudut dekat tempat tidur, saat hendak duduk, Silma menyeret tangannya dan keduanya pergi keluar.
Kupandangi punggung keduanya yang lenyap di balik pintu. Merasa sayang jika mie ayamnya melebar karena sudah direndam kuah, aku memilih menyantapnya sambil menunggu. Kira-kira setengah habis mie yang aku makan, aku dapat mendengar suara mesin kendaraan bermotor Lintang menggerung kencang, disusul suara Silma yang berteriak menyerukan namanya.