Setelah tiga hari semenjak kejadian di bawah pohon kelengkeng, Lintang menghilang. Aku dan Silma sudah sama-sama menaiki kereta, berniat kembali pada rutinitas perkuliahan kami. Selama tiga hari yang tersisa, aku menghabiskannya dengan mengunjungi Bapak, berniat pamit, sambil membawakan bekal makan siang buatanku.
Melihat Bapak makan dengan lahap, membuat hatiku terasa hangat, semoga ini memang pertanda baik bahwa aku sudah mulai dapat mengampuni Bapak. Aku berpamitan pada Bunda Arya, mengetuk pintu rumah Lintang yang baru kali ini tidak ia buka, padahal aku tahu betul Lintang ada di dalam. Sepatu dan sandalnya komplet di depan. Saat aku mendongak ke arah balkon kamarnya, aku dapat lihat bayangan Lintang masuk ke dalam kamar. Ia menghindariku.
Terakhir, aku mengunjungi makam Arya. Bercerita padanya, mengenai Pelangi, mengenai Lintang, mengenai Silma. Mengenai Bundanya yang memaafkanku, mengenai kehidupanku tanpanya. Sambil memandangi langit, aku berharap, Arya sungguh bahagia di tempat dimana seharusnya ia bahagia, untuk selamanya. Kata orang-orang, tempat kebahagiaan abadi berasal. Tempat itu bernama Surga.
Silma menangis, aku memeluknya, sambil bersandar di bahunya. Kami berdua terlalu terlarut, sampai tidak menyadari adanya satu sosok penting di dalam kereta. Sosok yang membuat kisah kedepannya, jauh lebih runyam. Ternyata, ini semua adalah permulaan awal antara aku dan Pelangi.