Sesampainya di peron, Kak Angga menjemputku dan Silma. Kami diantar ke kontrakkan dengan mobil. Kak Angga menanyai aktivitas liburanku yang tidak aku jawab dengan detail, karena aku masih ragu jika Kak Angga mengetahui masa laluku. Sementara terlalu mengundang pertanyaan jika hanya diungkit sebagian.
Sementara aku dan Kak Angga saling bercanda, Silma memilih tidur di jok tengah, dengan head set menyumpal sepasang telinganya. “Sampai ketemu besok ya, di kampus,” pamit Kak Angga pergi, setelah aku dan Silma turun dari mobil. Aku tersenyum dan melambai. Setelah memandangi mobilnya hilang di kejauhan, aku dan Silma menyeret koper kami dan masuk ke kamar masing-masing.
Sampai esok pagi hari, Silma tidak kunjung keluar dari kamarnya.
“Sil,” panggilku sambil mengetuk pintu dengan ragu. Jam nyaris menunjukkan pukul delapan pagi, seingatku Silma ada kuliah sesi pertama pagi ini. Jelas aku cemas, jika Silma tak kunjung keluar.
“Sil?” sekali lagi aku mengetuk pintu, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk membukanya.
Dari tempatku berdiri, aku dapat merasakan udara kamar yang lembab, sementara wajah Silma nampak sangat pucat. Buru-buru aku menyentuh keningnya. Benar saja, dahinya panas sekali. Tepat saat itu pintu rumah diketuk, melihat Indah yang berdiri di depan pintu membuatku lega sekaligus penuh syukur. Tanpa ba-bi-bu aku memeluk Indah.
“Ada apa, Ki?” tanya Indah heran.
“Tolong, Ndah. Silma demam. Tinggi.”
***
Aku menatap pintu masuk ruang UGD dengan cemas. Banyak orang yang sama sepertiku, menunggu keluarga masing-masing dengan cemas. Seingatku, Silma adalah orang yang paling sehat. Ia belum pernah masuk rumah sakit untuk dirawat. Kecuali hari ini. Demamnya nyaris mencapai angka empat puluh.
“Ini, Ki. Minum dulu,” tawar Indah sambil menyodorkan satu botol Aqua ke arahku.