Sore harinya, setelah menyendokkan beberapa bubur dan meminumkan obat, Silma tertidur kembali. Kata dokter Silma terkena gejala tfus dan kondisinya sudah membaik, hanya tidak boleh terlambat makan, tidak memakan makanan yang dilarang, terakhir sering istirahat dan minum obat.
Baru saja aku berniat mandi, sampai seseorang mengetuk pintu rumah, dari kaca aku dapat melihat siapa orangnya. Seorang pria dengan tubuh atletis dan wajah rupawan. Kak Angga. Aku membuka pitu, masih membawa piring bekas makan Silma. Enggan, aku mempersilahkannya masuk.
Walau aku tidak tahu, diantara Silma dan Kak Angga siapa yang telah berdusta. Namun perasaanku merasa tidak nyaman dan enggan untuk mempercayai Kak Angga. Kubiarkan Kak Angga duduk di salah satu bangku meja makan, kubuatkan satu cangkir kopi hitam, kemudian aku duduk di hadapannya, tanpa berniat bersuara lebih dahulu.
“Maaf, aku pulang duluan,” ucapnya membuka percakapan. Aku memilih diam, menyesap air putih di hadapanku, sambil menatap perkarangan rumah. Padahal, ini hanya introduksi, tetapi hatiku sudah merasa sakit.
“Ki, Indah sudah cerita?” aku menatap Kak Angga lekat, kemudian menggeleng.
Hening lama, seolah kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Kak Angga mendesah berat, mengusap kepalanya, dan menatapku dengan tatapan bersalah.
“Aku, bukan sosok di balik “Pelangi”, maafkan aku,” ungkap Kak Angga. Entah bagaimana aku sudah menduga, ia akan berkata demikian. Sudah kuduga, Kak Angga akan Meng –“iya”-kan semua tuduhan Indah di depan rumah sakit. Bagaimana aku berharap lebih? Kak Angga bahkan memilih pergi ketimbang membela dirinya tadi.
“Kenapa?” tanyaku kemudian, tanpa repot-repot menutupi nada suaraku yang terdengar terluka.
“Maaf ki,” aku menatap Kak Angga menahan kekesalan. Aku ingin mendengar alasan, bukannya permintaan maaf berkali-kali. Seolah dapat membaca pikiranku, Kak Angga mengusap wajahnya, nampak kebingungan bagaimana menjelaskannya padaku.
“Aku, adalah mantannya Indah. Indah, adalah adiknya Lintang. Jadi....,”