Tiga bulan, Silma menghilang tanpa kabar. Setelah itu, aku nampak murung, aku juga tidak segan untuk menutupinya dari orang-orang. Aku bahkan tidak ambil pusing asumsi orang-orang yang berkata jika aku sang putri es sudah berubah menjadi wanita suram. Begitu mendengar julukan tersebut, Indah langsung menggerutu dan berusaha menghiburku.
Semenjak tiga bulan yang lalu, Lintang dan Indah sepakat membawaku pergi dari kontrakkan menuju rumah Indah. Selama kuliah juga, Indah mengatar jemputku, sementara Lintang sibuk mengurus kantor. Meski demikian, Lintang selalu meluangkan waktunya di sela-sela jam kerja, sebelum berankat kerja, dan sepuang kerja. Ia selalu menyapaku, memberiku sarapan dan makan malam, ia membantuku untuk merawat diri. Seolah aku sudah tidak sanggup melakukannya untuk diriku. Jujur, meski kondisi fisikku normal, kondisi mentalku sudah diambang batas.
Bagaimana kabar Silma? Apa Silma baik-baik saja? Apa dia makan teratur? Apa dia masih sakit? Bagaimana kalau Silma sakit? Anak itu sering sakit-sakitan. Aku tidak bisa mencegah pikiran-pikiran bodoh itu bergentayangan dan menggrogoti diriku. Apakah Silma akan melupakanku? Keterusan tidak menghubungiku?
“Ki, bagi Silma kamu berharga, kamu enggak boleh mikir begitu. Oke?” Lintang menatapku serius. Masih dibalut kemeja kantor. Tas kantornya tersampir di sofa, bersama dengan jasnya. Aku mengerutkan dahi, sejak kapan Lintang di rumah Indah?
Lintang mengusap wajahnya frustasi, menyodorkan semangkuk mie ayam yang tidak aku ketahui dari mana asalnya. Sejak kapan Lintang nampak seperti pesulap? Selain membaca pikiran, dia bisa mengeluarkan mie entah dari mana. Aku memutuskan makan tanpa banyak komentar.
“Kak Lintang sudah pulang? Malam ini menginap saja ya?” ucap Indah. Aku mendongak menatapnya terkejud.
“Kok?” ucapku protes. Saat itulah, aku melihat mata Indah berkaca-kaca, hidungnya merah. Ia menyerbuku dalam pelukan.