Aku mengemasi barang Silma dengan penuh semangat. Membantu mendekor ulang kamarnya. Saat sibuk memilih motif sprei, Silma membuka percakapan sambil memasang kipas angin.
“Jadi, Ki. Tadi pagi, Lintang bertemu denganku di cafe, agak jauh dari sini, sengaja aku menghindar lokasi kalian. Namun, siapa sangka, lokasi cafe itu dekat dengan kantor Lintang,” terang Silma. Aku menatap Silma sambil mengambil warna ungu dengan motif pita-pita mini berwarna silver.
“Lalu?” tanyaku.
“Lintang bercerita mengenai keadaanmu yang gak baik-baik saja. Maaf ya, Ki. Aku sudah egois, berpikir bahwa ruang adalah yang terbaik bagi kita. Ternyata kita sama-sama terluka lebih berat dengan cara terpisah,” kulihat mata Silma membasah. Buru-buru ia mengusap matanya dengan punggung tangan. Aku tersenyum kecil dan memeluk Silma untuk kesekian kalinya dalam satu hari.
“Syukurlah, syukurlah kamu merasa serupa, Sil.” Bisikku serak. Kembali kami menangis sambil berpelukan, untuk kesekian kalinya.
“Janji, ya? Apapun yang terjadi setelah ini, kita akan menyelesaikannya dengan bersama-sama,” pintaku.
“Tentu,” bisik Silma sambil menyodorkan jari kelingkingnya. Tanpa menunggu lama-lama, aku mengikat jari kelingkingnya dengan kelingkingku.
“Ngomong-ngomong, gimana perasaanmu sama Lintang?” tanyaku kemudian, setelah kondisi emosi kami sudah jauh lebih baik. Silma mengambil lampu tumblir dari salah satu kardus di dekatnya, kemudian memasangnya. Sambil memasang Silma bercerita, menjawab rasa penasaranku.