Lima tahun kemudian,
“Ki, pernah dengar cerita dongeng anak-anak?” tanya Lintang di tengah kesibukannya mengemudi. Aku menatap jalanan yang ramai dengan menerawang dan menggeleng heran.
“Banyak, mau yang mana?” tanyaku.
“Jadi, aku dengar, ada suatu harta karun di ujung pelangi,” terang Lintang yang aku balasi dengan gumaman.
“Ohhh,” jawabku singkat. Lintang tertawa, satu tangannya yang terbebas dari kemudi menggelitik sisi perutku.
“Apa sih, geli!” gerutuku sambil cekikian.
“Lagi serius pula,” Lintang bersengut. Aku tertawa kecil dan mengangguk.
“Iya, memangnya kenapa kalau ada pelangi dan harta karun di dunia dongeng?” tanyaku, sebelum aku menyadari rumah makan yang kami tuju telah terlewat.
“Eh, Tang. Bukannya rumah makan yang kita tuju barusan kelewat?” tanyaku mulai panik, “putar baliknya, jauh banget!”
Bukannya panik, Lintang malah tersenyum meledek.
“Apa sih!” aku menggerutu kesal, seolah terkena Lintang super trap, setelah ratusan ribu kali.
“Hayo, apa? Barusan aku kasih clue,” aku mengerutkan dahi bingung.
“Rumah? Diujung pelangi?” ulangku. Saat aku melihat Lintang membawa mobil memasuki kawasan perumahan mewah, aku melotot. Mataku menatap Lintang tajam.