Dikala jam sudah menunjukan pukul lima sore, istriku baru saja pulang, dia segera beres-beres rumah, menyapu dan mengepel, karena dari pagi belum disapu dan dipel.
Malam harinya disaat anak sudah tertidur dan asyik dengan mimpinya masing-masing, istriku mendekatiku yang sedang rebahan di ruang televisi, seraya berkata.
"Mas, belum memberikanku nafkah batin selama sebulan ini, apakah Mas tidak sadar, ataukah sengaja?" selidiknya, menatapku lekat.
Aku yang berbaring disamping istriku yang sedang menonton TV, berbalik menyamping, kupandagi wajahnya sesaat, sambil menjawab pertanyaannya, degan sangat hati-hati, takut istriku ngambek lagi.
"Neng, Mas minta maaf, Mas tahu, Mas salah, tapi Mas, duh bagaimana bilangnya ya!" sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Ngomong saja Mas, biar jelas," sahutnya, sambil merubah posisinya jadi menyamping berhadapan.
"Baiklah, tapi Mas susah bagun Dek, tidak seperti sebelumnya, makanya Mas menghindar terus" jawabnya, lesu.
"Masa sih Mas, aku gak percaya?" Dia meraba ressleting dan tak ada reaksi.
Dia bergumam, "kenapa nasibku seperti ini! kamukan masi muda Mas, aku juga sama, walaupun jarang-jarang aku juga butuh itu," ujarnya, dengan wajah sedih, berobat dong Mas, jagan diam saja," lanjutnya lagi.
"Maafkan aku Neng" sahutku, dengan wajah memelas.
Istriku bangkit dari tidurannya dan pindah kekamar, sementara aku masih diruang keluarga dan masih menonton TV.
Sejak kejadian itu, kami seperti pisah ranjang, istriku tidur dikamar, aku tidur diruang TV.
Sudah hampir setahun aku juga tidak memberikan nafkah batin, tetapi aku tidak menyadarinya, karena waktu setahun itu terasa cepat sekali.
Disuatu sore disaat aku membersihkan akuarium dan istriku sedang mencuci piring
"Mas, kamu berobat dong?"tanyanya.
"Berobat bagaimana!" jawabku.
"Diurut gitu kemaerot," sahut istriku.
"Ya kalau ada aku lakuin, tapi dimana?" tanyanya, lagi.
"Susah Mas, disini orangnya sudah meninggal, tidak ada penerusnya," jelasnya,