Pemerintahan desaku nampaknya bermasalah. Yang disemprotkan di tangan bukanlah hand sanitizer. Pada awal-awal hari diberlakukannya penyemprotan ini rasanya yang disemprotkan adalah sejenis cairan pembersih kamar mandi. Sementara akhir-akhir ini sudah berganti baunya menjadi semacam pewangi lantai yang dipakai untuk mengepel. Aku bilang ke Mbak Indah karena dia yang lebih tahu. Mbak Indah resah mendengar pengaduanku.
“Lhah disinfektan itu kan nggak boleh terkena tangan. Orang bersihin wc saja harus pakai sarung tangan kok malah disuruh pakai cuci tangan. Gimana to?”
“Makanya, Mbak. Aku tadi lihat di tv juga nggak boleh. Bilangin dong, Mbak. Tangan aku mulai gatel ini mau mengelupas gara-gara setiap hari disuruh cuci tangan pake itu.”
Malam itu juga Mbak Indah memberi tahu salah seorang pemuda yang jaga di gapura untuk tidak menyemprotkan cairan yang entah apa itu ke setiap orang yang masuk desa. Rupanya dia ngeyel. Katanya sudah ada orang tersendiri yang menyampur cairannya, artinya orang yang menyampur disinfektan itu sudah ahli, kurang lebih seperti itu. Oleh karena itu, kami diminta untuk tidak perlu khawatir.
Mereka yang berjaga hanya bertugas menyemprot. Kebanyakan dari yang jaga memang tidak lulus SMA. Mereka tahunya ya disuruh menyemprot setiap orang yang masuk desa dan dapat bayaran. Mendengar jawaban dari pemuda itu sudah jelas yang disemprotkan memang disinfektan. Kalau hand sanitizer sepertinya mereka tidak perlu menyampurkan apa pun karena belinya langsung berwujud hand sanitizer.
Karena tidak mendapat tanggapan yang baik dari pemuda tersebut, Mbak Indah mengirim pesan wa ke pamong tani desa kami. Beliau masih lumayan muda. Kata teman-teman sebayaku, beliau merupakan ibu dari para pemuda desaku karena hanya beliau yang terjun langsung ke acara-acara yang diselenggarkan oleh para pemuda desa kami.
Beberapa kali aku juga melihatnya dengan kedua mataku sendiri. Sementara kepala desa kami cenderung tidak peduli. Dengar-dengar dari gosip ibu-ibu, kepala desaku punya istri simpanan setelah resmi menjabat. Istrinya yang judes tidak tahu soal itu. Entah benar atau salah itu bukan urusanku. Yang terpenting sekarang adalah urusan semprot-menyemprot yang tidak pada tempatnya.
Malam itu juga setelah satu jam lamanya Mbak Indah mendapat balasan. “Eh dibalas nih,” kata Mbak Indah padaku dan Mimin.
“Katanya dibilangin sama Bu Pamong juga ngeyel, besok pagi biar bu bidan saja yang bilangin.”
“Wuih, mantap!” Mimin menimpali sambil memasukkan jajan ke mulutnya. Oh iya, malam ini kami kembali berkumpul. Kali ini kami nongkrongnya di poskampling. Dia sekarang sudah kuliah di salah satu universitas swasta di Bogor. Dia pulang karena kuliahnya dibuat online sampai akhir Mei nanti. Ada baiknya juga sih virus ini, bisa membuat kami berkumpul lagi.
“Bu Pamong saja nggak didengerin, apalagi kita, Mbak.”
“Nah itu mak....”
Belum selesai Mbak Indah bicara mulai terdengar amukan ayahku, “Bismillah ... Sekarang Kamu sudah kaya ha??! Hartaku mbok akui, gunung-gunung mbok jual Min Tumin!!!”
“Hadeh... mulai deh kumatnya. Orang dia masih tetap nggak punya ya karena nggak mau usaha. Masihhhh saja nyalahin Pakdhe Tumin gara-gara sekarang banyak uangnya. Huh...” Aku menghembuskan napas kesal.
“Lagian kok sekarang pakai bismillah segala sih, ada-ada saja. Hahaha...” Mbak Indah berkomentar. Aku dan Mimin menertawakannya. Kami berdua baru sadar kata pembuka amukannya pakai bismillah. Hal itu belum pernah terjadi pada amukan sebelum-sebelumnya.
“Emang ayahmu An, An. Sudah ah jangan dibahas lagi, nanti jadi kita lagi yang gila hahaha.” Kata Mimin ingin mengalihkan topik yang sebenarnya memang tidak perlu kami perbincangkan malam itu karena teriakan ayahku sudah teramat biasa di telinga kami.
“Btw, instagram sekarang makin aneh-aneh. Banyak tantangan-tantangan yang entah apalah itu aku nggak ngerti. Ada yang mengunggah foto di snapgram terus dilanjutin sama teman-temannya sampai kecil itu maksudnya apa sih? Aku ditandai teman-temanku tapi nggak paham cara mainnya.”
“Oh yang berbagi semangat positif ke wanita lainnya itu ya, Mbak?” Jawabku sambil mendekat ke Mimin, “Min bagi jajan dong...”
“Iya, ada juga until tomorrow yang ngunggah foto aib gitu. Sama satu lagi, Bingo tuh lagi banyak banget yang buat.” Mimin menimpali sambil menyerahkan bungkus jajan yang isinya tinggal setengah kepadaku.