Tanpa kita sadari, banyak hal kecil yang dapat menghadirkan senyuman di wajah kita. Begitu pula dengan tangis.
Sore ini aku hendak buka bersama dengan Kevin. Kebetulan nanti malam ibuku tidak mengambil dagangan karena besok mau ada acara sedekah buat almarhum pakdhe, masnya ibu. Aku bersiap-siap, mengenakan pakaian yang sudah kusiapkan sedari pagi. Biasalah cewek kalau mau pergi berkencan mikir pakai baju yang mana saja lamanya minta ampun. Belum lagi harus menyetrikanya dulu.
Kemarin sebelum tidur, aku mempertimbangkan berbagai hal semalaman. Akhirnya, aku memutuskan untuk meminta Kevin yang menjemputku di rumah agar kami bisa berboncengan meskipun ada rasa khawatir seperti setiap kali kami mau jalan berdua. Terlebih, kejadian malam itu membuatku yang awalnya sudah mulai berani menjadi ciut lagi. Namun, setelah kupikir-pikir, di umurku yang sudah berkepala dua, dijemput pacar sudah menjadi hal yang sewajarnya terjadi. Jadi, aku harus mulai bisa memberanikan diri dan tidak peduli pada omongan orang yang bisa menyakitkan hati.
Aku sudah di depan, An. Aku menerima pesan dari Kevin.
Oke ini jalan ke luar.
Kucangklongkan tas rotan berwarna putih di bahu kanan. Lalu, kuraih helm yang kuletakkan di atas almari. Pintu kamar segera kututup dan aku bergegas ke luar mengenakan sepatu sandal warna putih.
Dia tersenyum tipis saat melihatku sudah di depan rumah. Aku membalas senyum pacarku. Dia tampak ganteng dengan setelan jeans dan kaos pendek berwarna merah dijaketi parasut hitam tanpa diresletingkan. Aku naik di jok belakang. Motor pun berjalan pelan.
“Mau buka di mana kita?” Kevin melihatku dari kaca spion.
“Di mana-mana hatiku senang hehe...”
“Oke deh, nggak boleh protes ya... Awas aja nanti protes!” Dia berlagak mengancam, tapi ancaman itu tidak membuatku takut sama sekali karena aku tahu dia hanya bercanda.
“Ih mana ada aku pernah protes. Aku kan nggak pernah rewel anaknya.”
“Iya deh tuan putri nggak pernah rewel kok, cuma kadang suka ngambek aja hahaha....”
Aku mencubitnya.
“Eh, eh, eh, sentuh-sentuh.”
“Yaudah kalau nggak boleh.” Dia malah tertawa melihatku sedikit kesal. “Ini beneran nggak mau pegangan?” Aku menanyainya sekali lagi dengan nada datar.
“Puasa tahu, nanti saja pegangannya pas sudah buka hehe.”
“Tumben-tumbenan, biasanya kamu yang minta.” Aku sedikit tersenyum. Hilang sudah kesalku melihatnya tertawa.
“Ini kan luar biasa ibu negaraku.”
“Tuan putri apa ibu negara sih yang benar?”
“Kekasih hati deng, eh semuanya ajalah hehehe....”
Aku ikut tertawa mendengar gombalannya. Terkadang, hal yang sesederhana itu dapat membuat kita bahagia.
Sesampainya di rumah makan, Kevin memintaku memesan enam porsi. Ternyata dia mengajak kedua temannya yang juga bersama pacarnya, semacam triple date gitu lah. Kami memilih tempat di lantai dua. Ada meja lesehan yang kosong di pojok ruangan. Dua meja kecil kami satukan biar muat enam orang. Lalu, aku memilih duduk di pojok yang bisa buat senderan ke tembok.
Kevin duduk di sebelahku. Bukannya ngajak ngobrol untuk melepas rindu, dia malah mengambil ponselnya dari saku celana dan main game. Padahal kami sudah lumayan lama tidak bertemu. Sementara teman-temannya baru sampai jam 5 lebih sehingga kami menunggu berdua lumayan lama.
“Hai...”
“Hallo...”