Malam lebaran pertama tidak tampak seperti malam lebaran pada biasanya. Hilir mudik anak-anak dan orang yang berkeliling ke rumah tetangga dan saudara tampak sekali minim melintasi jalanan akibat pandemi yang belum berhenti hingga kini. Pemerintah memang menghimbau masyarakat untuk lebaran di rumah saja seperti kegiatan lainnya. Namun, sesuai dengan janji sebelumnya, Kevin pun bertamu ke rumahku malam ini.
Ketika Kevin datang, ibuku tidak ada di rumah. Ibu sedang di rumah adik ayahku yang bersebelahan dengan rumah kami.
“Gantian ke rumahku bentar yuk! Ditanyain Mama.”
Deg. Ini seperti mimpi tadi pagi.
“Kok bengong, An?”
“Eh, iya ya, boleh. Ayo pamitan ke ibu dulu biar rumah juga ada yang jaga.”
Sebenarnya, aku agak tidak siap jika harus bertemu dengan keluarganya Kevin. Meskipun kata Kevin mereka sudah menerima kondisi keluargaku apa adanya dan ayahku juga telah meninggal, rasanya mentalku masih saja belum siap jika sudah harus bertemu dengan calon mertua. Ini terlalu singkat bagiku. Apalagi baru kali ini aku menjalin cinta yang sesungguhnya. Namun, aku tidak mau mengecewakan Kevin dan keluarganya yang sudah mengharapkan kedatanganku. Semoga saja mereka benar-benar menerimaku dengan baik.
Kami menghampiri ibu yang ternyata duduk di teras rumah pamanku. Teras rumah kami saling menyambung sehingga ibuku sudah tahu kedatangan Kevin. Saat kami menghampirinya, ibu berkata, “Lho kok cepet banget pulangnya, Le (sebutan untuk anak laki-laki di Jawa)?”
“Eh iya, Buk. Ini saya mau izin mengajak Ana main ke rumah saya sebentar.” Kevin menyalimi ibuku, begitu pun aku.
“Yaudah tapi jangan malam-malam ya pulangnya. Anak perempuan saru kalau pulang malam, apalagi perginya sama anak laki-laki.”
“Nggeh, Buk. Nanti saya antarkan Ana pulang sebelum jam sembilan.”
“Ana pergi dulu, Buk.”
“Iya, hati-hati. Pakai jaket biar nggak kedinginan, An!”
“Eh iya. Bentar ya aku ambil jaket dulu.” Aku berujar ke Kevin untuk menungguku. Aku pun segera masuk ke rumah dan kembali dengan jaket denim yang sudah kukenakan.
Motor pun melaju melewati jalan raya dan juga persawahan. Seperti orang pacaran pada umumnya, kami pun berbincang saat di atas laju motor yang sengaja dilambankan.
“Aku tadi nggak tahu kalau itu ibumu jadinya pas dateng aku nggak salim. Aku cuma senyumin doang.”
“Ya nggak pa apa, kan nggak tahu. Lagian kan udah senyum.”
“Iya sih.”
“Btw, kamu bukannya nggak gitu suka sama Noah ya, Kev?”
“Em emang enggak sih. Lebih suka dangdutan hehe.... Kenapa emang?”
“Terus kenapa waktu itu kamu nonton konsernya? Kamu sengaja ya biar bisa ketemu sama aku ya kan???” Aku menggodanya.
“Tuh tahu. Namanya juga suka jadi ya bagaimana caranya harus dilakukanlah biar bisa dekat, hehehe.”
“Ih ternyata... aku kirain kebetulan aja waktu itu kita bisa ketemu di simpang lima.”
“Eh enggak ya. Waktu yang kita ketemu di pedagang kaki lima itu emang aku nggak sengaja.”
“Masak sih? Yang bener??” Aku lebih mendekatkan kepalaku di pundaknya sambil menaruhnya.
“Iya. Aku ngerencanain ke sana kan siapa tahu ketemu sama biar ada obrolan buat ngechat. Eh kamunya nggak balas-balas waktu aku komen status. Yaudah karena aku lapar ya ngajak temanku buat cari makan. Eh malah ketemu di tempat makan.”
“Oalah, berati emang alam merestui kita ya.”
“Aamiin.”
Aku memundurkan kembali kepalaku, membonceng seperti orang pada umumnya karena rumah Kevin sudah makin dekat.
Motor berhenti di rumah lantai satu model baru yang tidak begitu besar, tapi lumayan mewah. Jangan dibayangkan mewahnya seperti rumah artis atau yang ada di sinetron-sinetron. Mewah yang kumaksud sudah beralaskan kerawik, bahkan dindingnya pun separuh keramik.
“Assalamualaikum.”
Kevin mendahului masuk rumah. Terlihat perempuan dan laki-laki yang belum begitu berumur menyambut kami. Tidak lain dan tidak bukan, mereka adalah orang tuanya Kevin. Aku pun menyalami keduanya.