Besoknya. Malam lebaran kedua.
Tidak jauh berbeda dengan malam kemarin. Malam ini pun sama saja sepinya. Aku dan Mbak Indah menaiki sepeda motor melewati jalan desa yang tidak menampakkan hari lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Sepi banget ya, Mbak.” Ujarku kepada Mbak Indah yang memboncengku.
“Iya, sedih banget, tapi ya ada untungnya juga sih.”
“Emang ada untungnya ya, Mbak? Perasaan banyak buruknya tuh. Banyak yang meninggal dan nggak sedikit juga yang kehilangan pekerjaan pun penghasilan.”
“Iya kalau soal itu memang banyak buruknya, tapi baiknya sih kita nggak perlu keliling ke semua rumah hampir satu RW kayak biasanya.”
“Iya sih, hahaha. Baru sadar aku.”
“Terus juga orang sekarang lebih sadar sama kebersihan kan. Dulu waktu aku pakai masker pas berkendara aja banyak banget yang ngejek. Sekarang? Semua orang wajib pakai masker, hahaha....”
Kami pun sampai di pelataran rumahnya Nano. Pintu rumah terbuka lebar. Televisi yang berada di sebelah ruang tamu terlihat menyala. Ada istrinya Nano yang terlihat dari balik jendela kaca sedang duduk di kursi ruang tamu. Namun, entah karena kedatangan kami atau alasan lain yang kami tidak tahu, dia masuk ke kamarnya yang terletak di sebelah ruang tamu persis.
Kami pun melepas sandal, mulai menaiki teras yang berkeramik merah.
“Assalamualaikum.”
Kami disambut oleh mamanya Nano yang sedang menonton televisi sambil menjaga cucunya yang sedang tertidur lelap. Jadi, di samping kursi ruang tamu ada kasur busa untuk menonton televisi. Kami turut duduk di sana.
Selepas bersalaman, kami pun berbincang. Mamanya Nano yang memulai obrolan.
“Heh, An, katanya kamu mau dapat orang Bumirame ya?”
Sontak, aku pun kaget mendengar pertanyaan yang tiba-tiba dan tak terduga itu. Aku menoleh Mbak Indah. Dia justru tersenyum mendengar pertanyaan yang ditujukan padaku itu.
“Eh, em kok tau, Mbak? Dapat kabar dari mana?”
“Lho aku gitu, lho. Kemarin kan aku sama papanya Nano ke rumah saudaraku di Bumirame. Nah, aku ditanya kenal sama kamu apa nggak soalnya kan kita sedesa. Aku bilang dong kita kenal gini banget, hahaha...” Mamanya Nano mengaitkan kedua jari telunjuknya untuk menandakan bahwa kami berhubungan sangat dekat.
“Terus, Mbak?” Aku penasaran dengan kelanjutan ceritanya.
“Sabar dong. Santai saja, tak ceritain semua kok. Nah, terus saudaraku itu ngasih tahu aku kalau kamu mau dapat anak tetangganya. Katanya kamu mau dilamar ya?”
“Ha????” Aku semakin kaget dibuatnya.
“Ya nggak mungkinlah, Mbak. Masak dia ngeduluin aku.” Mbak Indah turut menyambung.
“Lho ya bisa saja, In. Kamu sih nggak segera-segera. Nanti keburu tua lho.”
“Lhah malah jadi aku yang kenak.” Mbak Indah merasa salah ikut menyambung pembicaraan ini. Aku pun menertawainya karena ekspresinya lucu.
“Tapi benar nggak tuh, An? Kamu emang mau dilamar atau nggak?”
“Ya kalau sekarang sih belumlah, Mbak. Baru juga dua puluh. Dia aja baru lulus tahun ini kan. Lulus jalur korona, hahaha....”
“Oalah, berondong to rupanya.”
“Hehe, iya. Kok bisa dengar kabar kayak gitu tuh dari mana sih, Mbak?”
“Ya dari saudaraku tadi. Ibunya sendiri kok yang bilang, katanya.”
“Em mungkin ya itu nunjukin mereka menerima hubungan anaknya dengan serius dan baik ke depannya. Jadi, kalau keduanya sudah siap ya mereka siap buat ngelamar Ana gitu mungkin.”
“Nah, kayaknya gitu deh, Mbak.” Aku membenarkan analisis dari Mbak Indah.