Cerita yang paling hangat diperbincangkan dan tidak pernah ada matinya ialah soal percintaan. Ngomongin soal cinta, aku mulai bermain kisah cinta sewaktu kelas sembilan SMP, yaitu pada tahun 2016. Dari sinilah cerita ini bermula. Pacarku tinggal di satu desa yang sama denganku, ha pacar? Ya sebut saja begitu. Kami dekat selayaknya orang berpacaran, tapi tak pernah ada kepastian status dalam hubungan ini.
Sewajarnya anak SMP pada umumnya yang pacaran, palingan dia cuma lewat depan kelasku sambil melirik dan senyum-senyum. Terus pulangnya naik bis bareng. Dia gengsi kalau naik angkutan, seperti kurang berasa cowok gitu. Kalau dia ke sekolah naik motor biasanya aku diboncengin sampai depan rumah. Karena jarak antara sekolahku dan desa kami terbilang masih dekat, kami tidak mengenakan helm, kayak Dilan dan Milea. Bedanya, dia tidak mengendarai cbr sama tidak memakai jaket jeans. Selain itu, aku juga tidak memeluknya dari belakang. Nggak ada romantis-romantisnya sih, tapi aku cukup senang.
Namanya cinta pasti sepaket sama cemburu. Katanya, cemburu itu tanda cinta, sedangkan kalau nggak cemburu justru diragukan rasa cintanya. Nah, dia juga pernah cemburu sama kedekatanku dengan salah seorang sahabatku karena aku jalan bareng berdua doang sama Heri pas pulang sekolah. Jadi, sekolahku itu nggak di pinggir jalan raya alias masuk gapura desa sehingga kami harus jalan kaki dulu kira-kira 300 meter untuk sampai ke jalan raya. Namanya sahabat, wajarlah kalau dia sering curhat ke aku. Saat-saat seperti itulah muncul momen yang pas untuk curhat.
“Makanya jangan sok ganteng jadi bocah.”
“Lhah kan aku emang ganteng, An. Kamu tuh hati-hati, bisa-bisa kamu terlena sama kegantenganku. Terus... kamu ninggalin Nano deh demi aku. Waduh bahaya juga ya pesonaku ini.” Heri berlagak sok kegantengan dan salut pada dirinya sendiri. Masih dengan suaranya serak-serak basah yang menjadi ciri khasnya, Heri melanjutkan, “Kamu tuh beruntung banget tahu An bisa jadi sahabatku. Hahaha... cewek-cewek lain aja pada ngiri sama kamu.”
Dia mengacak-acak rambutku yang berjalan di sebelah kanannya. Aku menoleh ke arahnya dengan tangan kanannya yang masih menempel di kepalaku. Tatapan mata kami bertemu menciptakan keheningan sejenak. Aku segera mengambil kendali atas diriku.
“Idihhhh pede banget sih jadi bocah.” Aku menoyor kepalanya sambil berjalan agak menjauh. Butuh usaha untuk bisa menoyornya karena tinggiku hanya sebibirnya. Bukan aku yang terlalu pendek, dia saja yang terlalu menjulang tinggi soalnya dia suka bermain bola volly.
Di bibir aku bisa mengelak, tapi hatiku bilang kalau dia memang beneran ganteng. Nano juga tidak kalah ganteng darinya, bukan karena aku pacarnya, tapi dia memang ganteng. Mereka sama-sama berkulit putih, lebih putih dari aku karena kulitku berwarna sawo matang. Keduanya sama-sama tinggi dan punya hidung yang mancung, berbeda denganku yang hidungnya pas-pasan. Meski begitu, mereka memiliki karakteristik kegantengan yang berbeda. Salah satunya karena Heri lebih sipit dari Nano.
Kalau masalah akhlak, Heri jelas lebih unggul. Setiap malam Jumat dia ikut tahlilan di Musala. Heri juga menjadi anggota rebana di desa. Bandingkan dengan Nano yang bisanya main doang dan suka berantem, haduhhh. Karena sudah telanjur suka, aku tidak menuntut lebih atas diri Nano agar bisa menyaingi Heri. Lagi pula, untuk urusan agama aku juga masih jauh dari kata sempurna. ‘Ah kenapa aku jadi membanding-bandingkan mereka ya.’
“Oey beduaan bae lu. Nano marah kapok dah lu, An.”
Tetiba sudah ada Ulin di belakang kami. Lamunanku pun buyar. Gadis yang tampak urakan dengan rambut sebahunya yang seperti sapu ijuk itu merangkul aku dan Heri. “Apaan orang bertiga gini sama kamu, wlekk...” Aku menujulurkan lidah ke arah muka Ulin.
Karena petingkahnya yang banyak gaya, rambut yang selalu digerainya itu mengenai mataku. Ulin memang anaknya nggak bisa diam.
“Aduh, rambutmu kena mataku nih. Udah saatnya di-rebonding tahu itu Ul atau nggak ya dikuncir kek. Lagian mana ada bagus-bagusnya rambut kasar dan kaku begitu digerai.” Aku mengucek mata sebelah kanan dengan punggung tangan.
“Hehe, maap maap, tapi ya nggak usah menghina juga kali.”
“Fakta sama menghina berbeda ya...” Selorohku.
Kami bertiga sudah bersahabat sedari SD dan kami semakin dekat karena bersekolah di SMP yang sama. Daripada bersosialisasi dengan orang baru yang belum tentu cocok kan lebih baik sama teman lama saja. Lagi pula, pantang bagiku melupakan teman lama meskipun sudah punya banyak teman baru.
Ulin menghabiskan masa kecilnya di Bekasi. Dia baru pindah ke desa kami waktu kelas enam SD karena mengikuti mamanya yang telah bercerai dengan papanya. Teman-teman cowoknya banyak banget, mengingat bodinya yang semlohai, alias semok, seksi gitulah. Diimbangi dengan kulit coklat, lebih coklat dariku, yang cenderung membuatnya tampak eksotis. Sudah pasti semua mata cowok meliriknya. Padahal dia tidak cantik, tapi tidak jelek juga. Mungkin karena bentuk tubuhnya yang membuat cowok-cowok bertekuk lutut padanya.
“Eh aku mau beli es dulu di warung, kalian nyeberang aja dulu atau mau nunggu?”