Aku Ingin Ayahku Mati!

Putri Zulikha
Chapter #3

APA IYA AKU BOSAN?

Agenda setiap malam mingguku adalah nongkrong bareng teman-temanku sejak kecil. Mereka lebih tua dariku dan berbeda sekolah denganku. Sewaktu kecil kami sering main kelereng, sudahmanda, petak umpet, sepedaan, dan masak-masakkan. Pokoknya sepulang sekolah dan hari minggu kami main bareng terus sedari kecil. Masih mainan tradisional, nggak kayak kebanyakan anak zaman sekarang yang mainnya game di hp atau malah tik tokan, dan ada juga yang kecil-kecil sudah jadi kpopers. Oleh karena itu, kami dekat sekali satu sama lain.

Akhir-akhir ini karena kami sudah besar, mainnya beralih nongkrong bareng di teras rumah neneknya Mimin sambil minum es teh atau jajan-jajanan seperti sempolan dan segala jenis cemilan lainnya.

Kami duduk di bangku panjang depan rumah neneknya Mimin. Pandangan orang lewat terhalang oleh gerai bambu sehingga kami lebih bebas bertingkah. Seperti rumah Mbak Indah, rumah neneknya Mimin juga masih joglo. Halaman rumahnya luas tanpa ada pohon yang menutupi antara teras dengan jalan. Kalau dulu masih ada pohon mangga di depan rumah, tapi sekarang sudah ditebang. Pepohonan yang masih ada rata-rata di pekarangan belakang rumah. Hal itu membuat kita bisa bertegur sapa dengan orang yang lewat pas duduk di teras, seperti di rumah Mbak Indah. Makanya kami memilih teras rumah neneknya Mimin buat nongkrong.

“Muka biar nggak kusam diapain sih?” Aku mengaca di layar ponselku.

“Dibasuh dengan air wudhu dong paling nggak sehari lima kali.” Teman kecilku yang pertama-tama dan lahirnya paling duluan, yaitu Mbak Indah, menimpali. Dia itu cantik, tapi bukan tipe yang membosankan, mungkin dia lebih ke arah manis kali ya. Sudah manis, mungil lagi. Baby face gitulah.

“Baiklah, pantas saja mukaku kusam, huh.” Dengusku sebal sambil memegang-megang pipi kanan-kiri secara bergantian dengan bibir yang secara otomatis ikut monyong-monyong sedikit.

“Jadi itu rahasia kulit cerahmu, Mbak? Untung aku masih sering salat ketimbang kamu, wlekkk.” Mimin, si cewek tirus alias tidak kurus kelahiran tahun 1999, mulai memperlihatkan sisi menyebalkannya.

“Itu artinya menghina mukaku yang lebih kusam dari mukamu gitu? Lebih rajin dikit aja sombong hu... Aku juga rajin salat kok, tapi pas bulan puasa doang hehe...”

“Itu pun pas bagian tarawihnya tok. Paling ditambah salat idul fitri sama idul adha.”

“Sirik banget sih jadi orang, Min.” Aku menutup kamera ponselku, beralih menatap Mimin dengan muka sok marah. Tanganku berkacak pinggang. Sementara dia bersikap tak acuh.

Kalau Mbak Indah beda dua tahun sama aku, dia hanya berbeda setahun. Lantas, kenapa aku tidak memanggilnya mbak juga? Namanya juga teman sedari kecil, agak ngelunjak sedikit sih nggak apa-apa. Mbak Indah kupanggil mbak karena aku menghargai pribadinya yang sungguh mengayomi kami. Sementara Mimin sebelas dua belaslah sama aku akhlaknya. Ya beda tipis-tipis lah. Lagi pula, aku pernah tinggal serumah dengannya hampir tiga minggu. Hal itu membuat jarak di antara aku dan Mimin seolah hilang. Rasanya sudah seperti teman seumuran saja.

“Tapi bener kan???” Sambung Mbak Indah menyelidik.

“Iya sih hehehe...” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

Pembicaraan berhenti sejenak. Hening, tanpa ada teriakan suara ayahku yang membuat kuping jadi terganggu. Angin menyusup dari celah-celah gerai kayu yang terpasang di sisi kanan dan depan teras rumah. Sesekali mulut kami mengunyah jajan.

“Tu... pitu? Hahahaha...,” Mbak Indah mengingatkan kami pada kejadian lucu waktu kami main masak-masakan dulu. Sontak kami bertiga pun tertawa. Waktu itu aku masih kelas satu SD. Ceritanya, aku jualan cabe di pasar. Mbak Indah menjadi pembeli. Waktu aku tanya beli berapa dia jawab ‘two’, tapi karena aku masih belum pintar banget bahasa Inggrisnya jadi kukira ‘tu’ yang kudengar maksudnya itu ‘pitu’, yaitu tujuh dalam bahasa Jawa. Lucu sih tapi kalau sudah besar gini ya agak malu juga. Ternyata sedari kecil memang otakku ini tidak bisa diajak berlari rupanya. Jadi ya untuk kebodohan selama ini dalam hidupku sudah menjadi hal wajar.

Mimin tertawa terpingkal-pingkal sambil makan telur gulung, “Sumpahlah itu lucu banget, uhuk uhuk...”

“Sukurin... makanya jangan banyak gaya jadi orang. Huuu...”

Lihat selengkapnya