Hidup ternyata sesingkat mencipta momen hari ini untuk diceritakan esok hari maka tidak ada alasan untukmu tidak bahagia.
Hari minggu enaknya itu bangun siang karena senin sampai sabtunya sudah bangun pagi terus. Iya begitulah prinsip kaum rebahan seperti aku. Namun demikian, minggu ini jadwalnya aku, Mbak Indah, sama Mimin buat sepedaan ke kota atau ke bumi perkemahan. Kadang Heri juga ikut karena rumahnya masih terbilang dekat dengan rumah kami, termasuk hari ini. Kami berempat menjadi remaja musala yang sama, yaitu Musala Nurul Huda. Tempat yang kami tuju biasanya Bumi Perkemahan Regaloh atau Stadion Jaya Kusuma.
Sepedaan ini kami lakukan sebagai olahraga, ditambah refreshing juga. Otak yang digunakan buat mikir pelajaran sekolah selama sepekan sudah sangat penat jika tidak didinginkan. Apalagi bisa main sama teman, tertawa bareng, menciptakan momen bersama yang kelak bisa kami ceritakan ke anak cucu. Hidup ternyata sesingkat mencipta momen hari ini untuk diceritakan esok hari maka tidak ada alasan untukmu tidak bahagia. Kebersamaan kami ini menjadi salah satu bentuk kebahagiaan yang tidak perlu sesuatu hal yang mewah dan mahal.
“Mau ke mana nih kita?” Heri yang sudah di depan melambatkan laju sepeda gunungnya. Dia menoleh ke arah kami yang masih di belakangnya karena dia merupakan pimpinan perjalanan ini.
“Stadion aja lah, kan minggu kemarinnya udah ke Buper.”
“Oke gasss.” Heri kembali melanjutkan mengayuh sepeda. Sementara napas Mimin sudah menunjukkan kuwalahan memboncengkanku sehingga aku membantunya mengayuh dari belakang. Maklum saja, lemak dia yang paling banyak terbakar di antara kami berempat.
“Nanti sore nongkrong di poskampling yuk, Mbak.” Aku mengencangkan suara mengajak ngobrol Mbak Indah yang berada di urutan paling belakang.
“Oke kalau nggak kecapekan aja sih hehe...” Mbak Indah terlihat kelelahan karena harus terus mengayuh sepeda lipatnya, sementara ketika dia berhenti mengayuh sepedanya berjalan dengan tidak seberapa dan cepat sekali berhenti.
Aku kembali menoleh ke depan. Tetiba aku teringat sesuatu.
“Eh nggak jadi nggak jadi. Nanti aku sudah janjian mau pergi sama Ulin dan Yuli, bisa-bisa dihujat aku kalau nggak jadi ikut hehe.”
“Masih kecil aja udah lupaan huu...” Mimin sekalinya berkomentar nyebelinnya keluar.
“Apasih jomblo, jomblo... Hu jomblo akuttt.”
“Idihh mentang-mentang lagi kasmaran. Ya meskipun nggak ada kejelasan status sih, upsss keceplosan hahaha.”
“Rese ya, Anda.”
“Minta kejelasan gih sebelum kamu tersakiti. Aku kasih tahu ya, An, biasanya yang tersakiti kalau nggak ada status itu ceweknya karena cowok masih bebas gebet sana-sini. Padahal ceweknya sudah jaga hati. Sementara si cewek mengira bahwa dia satu-satunya. Ngomong-ngomong Nano nggak cemburu kamu sepedaan bareng sama Heri?”
“Nyerocosss aja terus kerjaannya. Oh iya lupa kan nggak ada makanan sih di mulut ya hmm. Makanya nggak bisa diam, nggak ada yang nyumpelin sih. Jadinya ya bocor deh.”
Roda sepeda terus bergulir. Kami lebih banyak melewati berbagai bangunan daripada sawah. Penduduk nampaknya kian memadat. Desa-desa di kotaku tidak lagi seperti pedesaan yang ditayangkan di sinetron-sinetron. Kami dilewati beberapa sepeda motor dan mobil yang lalu-lalang. Bahkan, truk juga melintasi kami.