Belum lama, Ulin tiba di rumah. Sepulangnya dari sekolah dia langsung masuk kamar dan berganti baju. Rumah tampak sepi seperti biasanya. Tidak ada yang istimewa. Hanya terdengar suara televisi di ruang keluarga. Seorang perempuan berambut putih dan sedikit coklat kemerahan karena semiran rambutnya mulai hilang menonton televisi sendirian. Tak lain dan tak bukan, perempuan tua itu adalah neneknya Ulin. Umurnya tidak jauh dengan ibunya Ana. Sementara itu, Ulin menghabiskan waktu di kamarnya dengan bermain ponsel.
Besok sore ada pertandingan sepak bola di lapangan belakang sekolah. Kamu nonton nggak? Kan deket banget sama rumah kamu.
Pesan dari kakak kelasnya sewaktu SD dibalasnya. Tentu saja kakak kelas itu laki-laki.
Emm, boleh dah. Liat besok aje.
Selepas memencet tombol kirim. Ulin keluar dari ruang obrolan tersebut untuk membaca pesan masuk lainnya yang juga dari para lelaki. Ada yang seumuran dengannya dan ada pula yang beberapa tahun di atasnya. Hampir laki-laki satu desa mempunyai nomornya dan sering berkirim pesan dengannya, apalagi yang suka bermain wanita. Tidak hanya pemuda satu desa, teman laki-laki satu sekolahan yang sekarang pun banyak yang meminta nomornya.
Pesan yang kedua berbunyi hampir sama.
Besok sore nonton pertandingan ya, Ul hehe...
Emangnya kenape? Lu main?
Pesan itu langsung berbalas, cepat sekali. Namun, Ulin membiarkannya terlebih dulu. Dia tidak mau langsung membalasnya. Dia membalas pesan yang lain dulu, yang belum sempat dibacanya.
Ini sape ya? Ada pesan masuk yang belum tertera nama kontaknya. Kontak itu masih berupa nomor asing.
Boleh telfon nggak? Ulin membuka pesan yang lainnya lagi. Pesan itu dari temannya smp.
Boleh aje.
Ulin kembali membuka pesan dari pengirim yang kedua tadi.
Iya, kan kalau dilihat kamu tambah semangat.
Belum sempat dia membalas pesan tersebut, sudah ada telepon yang masuk.
“Hallo.” Ulin mengawali singkat.
“Hai, Ulin. Lagi apa nih?” Pertanyaan yang basi muncul dari remaja lelaki di seberang sana.
“Lagi main hp aje nih.”
“Udah makan belum kamu?”
“Ul, makan dulu!” Teriak nenek Ulin dari depan televisi seolah menjawab pertanyaan basa-basi dari temannya Ulin.
“Iya, Nek. Bentaran.” Ulin agak mengeraskan suaranya ketimbang tadi agar neneknya mendengar. Dia mengucapkannya sambil menarik ponselnya agak jauh dari mulutnya supaya tidak begitu masuk ke telepon.
“Ini bentar lagi gue mau makan. Lo mau beliin?”
“Hehehe besok deh pas di sekolahan aku beliin.”
“Lhah kalau beliinnya besok mati dong gue. Parah lu!”
“Jangan panggil lu gue dong.”
“Terus apa, sayang? Mau?” Ulin melembutkan suaranya, menggoda.
Tidak ada jawaban dari remaja lelaki itu.
“Aelah becanda doang... tapi kalau mau juga nggak pa pa aku manggilnya sayang.”
“Nggak ada yang marah emangnya?”
“Siape yang marah?”
Ada panggilan lain yang masuk, tapi tertolak karena Ulin berada di panggilan lain.
“Eh udah dulu ye. Gue mau makan dulu. Laper nih. Bye sayang.” Ulin menutup teleponnya. Kemudian, dia membalas pesan orang yang barusan teleponnya tertolak oleh Ulin.
Maap tadi mama gue nelepon.
***
Ketika teman-temannya sudah pulang ke rumahnya, Yuli juga pulang, tapi ke rumah pacarnya. Di rumah itu hanya ada mereka berdua. Ayah dan ibu si pacar belum pulang dari kerja. Di kamar remaja cowok itu, Yuli tiduran dengan masih mengenakan seragam sekolah, sementara pacarnya duduk di sebelahnya sudah memakai kaos meski celananya masih celana sekolah. Yuli berbantalkan paha pacarnya yang sedang main game mobil legend.
“Yang, kita nggak pa pa pacaran di rumah kayak gini? Hampir tiap hari lagi.” Yuli menatap pacarnya yang masih asyik dengan permainannya.
“Orang di sini juga sepi. Tetangga kan pada kerja.”