Jangan terlalu dalam menjatuhkan rasa kepada seseorang karena sewaktu-waktu dia dapat meninggalkan kita tanpa sebab.
Aku berjalan gontai menghampiri Mbak Indah dan Mimin yang sudah duduk di teras rumah neneknya Mimin.
“Mbak, Nano, Mbak. Dia udah punya yang baru, huhuhu.” Aku memeluk Mbak Indah. Sementara tangan kananku mengusap air mata yang terus mengalir.
Malam minggu kali ini menjadi malam mingguku yang paling menyebalkan sedunia. Dua hari lagi aku ulang tahun, sedangkan sekarang aku ditinggalkan oleh pacarku karena telah mendapatkan yang baru. Pacar? Itulah yang salah sedari awal. Tidak pernah ada kata pacaran keluar dari mulut dia. Dulu sekali dia memang pernah memintaku menjadi pacarnya, tapi aku selalu menolaknya. Kemudian, Januari kemarin aku baru dekat dengan dia layaknya sepasang kekasih tanpa ada kepastian status.
Akhir-akhir ini dia memang telah berubah. Dia sudah jarang menghubungiku. Nano sudah tidak pernah mengantarkanku sepulang sekolah. Lalu tanpa pernah kusangka-sangka sebelumnya, aku baru saja melihat status facebooknya teman sekelasku yang membuat pengumuman berpacaran dengan menandai Nano. Ternyata benar desas-desus beberapa hari ini. Nano memang lagi dekat dengan cewek lain. Hancur hatiku. Aku ditinggalkan saat aku benar-benar sudah jatuh hati kepadanya. Kata orang jatuh hati itu sepaket dengan sakit hati. Mungkin sudah saatnya rasaku padanya lengkap. Di mana-mana jatuh memang selalu saja sakit.
“Tuh kan, udah aku duga.” Mimin nyeletuk dengan santainya dan tentu saja sambil ngemil jajan.
“Aku bilang juga apa, An. Nggausah main hati dulu, kan masih kecil. Lagian, agama juga nggak ngebolehin kita pacaran. Yasudah yang ini dijadikan pelajaran ya.” Mbak Indah mengelus kepalaku, persis seperti mbak kandungku sendiri. Dia memberikan pundaknya sebagai tempatku meluapkan air mata kesedihan atau bisa jadi kekecewaan. Dia tidak protes kerudungnya basah oleh air mataku.
“Mungkin kemarin dia hanya berniat balas dendam, An. Kan dulu waktu dia nembak, kamu selalu menolaknya. Dia kayaknya hanya terosebsi untuk menaklukkanmu, deh. Nah, ketika kamu udah berhasil digenggam, ditinggal deh.”
“Jangan suudzon ah, Min. Habisin dulu jajannya, nanti keselek lagi, lho.”
“Eh tapi bisa jadi tahu, Mbak. Ngomong-ngomong, pacarnya yang sekarang cantik ya, An, lebih cantik dari kamu. Pantesan...”
“Berisik!”
“Sudah Min jangan malah dikomporin ah temannya kan lagi sedih.” Mbak Indah memandang Mimin sambil mengelus rambutku guna menenangkanku.
“Hehe... Bukan begitu maksudku, Mbak. Pacarnya Nano memang lebih cantik dari kamu sekarang An dan kamu harus menerima itu. Tapi kamu perli ingat. Kecantikan itu bukanlah segalanya.”
“Benar sekali. Hubungan antara dua orang tidak akan kokoh jika hanya dilandasi oleh paras. Lagian dia cantik juga karena perawatan. Kalau kamu mau juga bisa kayak gitu. But, sekarang sih belum perlu buat kamu ngurusin begituan. Apalagi sampai pakai krim-krim pemutih yang berbahaya supaya cantik instan.” Mbak Indah menambahi.
Aku tidak menanggapi omongan Mimin dan Mbak Indah. Namun demikian, aku menangkap apa yang mereka bicarakan meskipun bulir-bulir air di mataku terus saja mengalir. Aku sudah berusaha untuk tidak lagi menangis, tapi rasanya masih ada yang mengganjal di hatiku. Seperti ada bongkahan batu di dadaku dan membuat tubuhku sangat tidak nyaman. Sakit sekali rasanya jika tidak ditangiskan. Setidaknya, itu adalah caraku untuk meluapkan emosi biar lega.
“Nangisin apa sih kamu, An? Nangisin cowok brengsek yang sudah nyelingkuhin kamu? Hidupmu itu masih panjang. Baru juga kelas sembilan. Kamu masih harus ujian biar lulus sekolah. Nanti di SMA itu lebih seru, kamu bisa menemukan cowok yang lebih tulus sama kamu! Cinta monyet tak usah ditangisi sampai begitu rupa. Nanti kalau kamu udah dewasa baru seyum-senyum sendiri karena malu buat mengingatnya.”