Setiap orang punya dosanya masing-masing. Hanya saja setiap orang memilih jalannya sendiri dalam menjemput dosanya.
Mbak Indah paling pintar di antara kami bertiga sehingga aku dan Mimin sering minta diajari sama dia, terutama pelajaran matematika. Dia jago banget matematikanya. Bahkan, dia sering mengutak-atik rumus sendiri biar dapat mengerjakan soal lebih cepat, sementara aku paling antimatematika. Pokoknya, bagiku matematika adalah momok yang sangat menyeramkan dan membosankan.
Mbak Indah sekolah di SMA favorit. Satu desa cuma dia saja yang sekolah di sana. Aku sih sama sekali nggak ada harapan sekaligus niatan bisa sekolah di sana. Bagaimana tidak, pelajarannya tentu lebih sulit dari sekolah pada umumnya. Bukunya pun tak cukup hanya Lembar Kerja Siswa. Ada banyak buku paket tebal yang harganya tentu mahal. Aku mengerjakan LKS saja sudah kuwalahan. Tidak jarang juga menyontek teman. Boro-boro aku sanggup mengerjakan buku paket.
Sama sepertiku, tahun ini adalah tahun kelulusan untuknya. Dia tidak memberi tahu akan meneruskan ke perguruan tinggi mana. Katanya dia akan memberi kabar jika sudah diterima. Takutnya, sudah koar-koar mau daftar di sana, tapi dia malah tidak diterima. Hal itu tentu akan menimbulkan banyak omongan tetangga. Di sisi lain, aku niatnya melanjutkan di sekolah kejuruan saja karena arahnya mau langsung bekerja. Yang benar saja aku masih harus melanjutkan kuliah. Sekolah dua belas tahun saja sudah sangat memuakkan, terkecuali seru-seruan bareng teman sih.
Malam ini kami belajar bersama, tapi pikiranku dikacaukan oleh sesuatu. Aku gelisah mendengar desas-desus di sekolahan tentang Yuli, sahabatku. Semakin hari semakin ramai saja beritanya diperbincangkan. Bahkan, kemarin di sekolah ada yang terang-terangan melabrak dia perihal pakaiannya yang sekarang dikedodorkan.
“Yuli lagi diomongin tahu, Min sama anak-anak satu sekolahanku.”
“Kenapa to emangnya itu anak?”
“Ada yang bilang sih dia hamil. Kalau di sekolah seragamnya sering dikeluarin. Eh tapi dia dari dulu emang suka pakai seragam dikeluarin sih, cuma dulu seragamnya dipasin badan gitu, membentuk tubuh. Nah sekarang itu seragam yang dipakai kedodoran kayak sengaja buat nutupin perutnya.”
“Lhah kenapa nggak ditanya aja sama orangnya, kan kamu teman dekatnya?” Mbak Indah nimbrung. Baru saja dia tiba di rumah Neneknya Mimin sambil membawa jus dan jajanan penuh micin biar kami tambah semangat belajarnya. Belajar biar pintar tapi dimakanin micin, bisa-bisa jadi bodoh lagi. Eh bener nggak sih? Bodo amatlah penting enak. Nyatanya Mbak Indah pintar-pintar saja sampai sekarang.
Aku membuka jajannya dan mulai memakannya sambil menimpali.
“Udah, Mbak. Katanya sih perutnya besar gara-gara dia kalau habis makan langsung dipakai tidur, tapi emang iya sih. Tidurnya tengkurep lagi, gimana nggak gede coba tuh perut jadinya.”
“Nah, kita husnudzon aja ya. Perutnya melar karena tidur sehabis makan.”
“Eh tapi katamu dia emang sering banget pergi sama pacarnya, An? Jadi ya bisa saja hamil beneran.” Mimin mulai menyalakan kompornya. Kalau lagi semangat, urusan menggoreng rumor dia jagonya. Keahliannya memang cuma dua, makan dan menggosip. Cuma kalau juteknya keluar dia pasti memilih bodo amat.
“Iya bener. Dia sering banget diajak main ke rumah pacarnya. Kan rumah pacarnya dekat sekolah. Terus kayaknya rumahnya tuh sepi deh soalnya bapaknya si cowok itu merantau, sementara ibunya kerja di pabrik. Otomatis kan rumah sepi sampai sore.”
“Udah ah ngegosipnya, ayo belajar lagi!” Mbak Indah menghentikan perghibahan ini. Sesuai dengan ajaran orang tuanya, sebisa mungkin dia menghindari ghibah. Terkadang, aku salut dengan didikan umi abinya yang bisa melekat dengan baik dalam diri anaknya. Aku beruntung punya teman dari orang yang disegani dan dihormati di kampungku karena kemurahan hatinya. Setidaknya kalau bergaul dengan penjual minyak wangi kan aku bisa kecipratan wanginya.
“Mbak mau tanya.”
“Aku duluan. Ajarin soal nomor 12, Mbak.” Aku menyodorkan bukuku ke depan Mbak Indah, sementara Mimin baru saja mau mengangkat bukunya. Melihat tingkahku yang menyerobot seenaknya Mimin sedikit kesal.