Dunia ini memang hanya memberi dua pilihan, ditertawakan kehidupan atau kita yang menertawakan hidup.
Masa putih biru telah terlewati. Sekarang saatnya aku memulai babak baru di putih abu-abu. Aku, Ulin, dan Heri berpencar di sekolah yang berbeda. Aku sekolah di SMK negeri sesuai orientasiku sebelumnya, Ulin diterima di SMA swasta yang tidak jauh dari sekolahku, dan Heri memilih untuk bersekolah di SMK swasta dekat rumah. Meskipun swasta, sekolah Heri memang diidamkan banyak siswa. Selain itu kualitasnya juga bagus dan harga yang tidak murah juga tentunya. Oh iya, Nano satu sekolah lagi dengan Heri, tapi beda jurusan.
Ketika kami masih sibuk sekolah dan menikmati masa muda yang katanya masa putih abu-abu adalah masa paling indah, Yuli sudah harus di rumah mengurus suami dan anaknya. Terkadang kalau kami bermain bersama, rasanya tawa kami kurang lengkap. Ada rasa kasihan sekaligus kangen terbesit di benakku. Aku masih saja belum sepenuhnya percaya hal itu benar-benar terjadi pada orang terdekatku.
Meskipun telah mengambil langkah hidup yang berbeda, aku dan Yuli masih sering berkontakan. Tidak hanya sekadar berkirim pesan, aku juga kadang masih main ke rumah Yuli sama Ulin. Paling tidak Yuli tidak kehilangan kedua sahabatnya setelah masalah itu menimpanya. Aku suka bermain dengan anaknya. Mengajak si kecil tertawa atau menertawakan kehidupan. Di dunia ini pilihan memang hanya ada dua, ditertawakan kehidupan atau kita yang menertawakannya.
‘Cantik juga kamu, Nak. Padahal ayah dan ibumu nggak ada yang cakep,’ aku berkata dalam hati. “Eh, Yul, suamimu mana kok nggak pernah kelihatan kayaknya?”
“Kerja dia, nanti pulangnya malem. Kadang juga bisa nggak pulang.”
“Lhah ngapa dah? Kok lu mau?”
“Ya kan dia kerja, udah capek. Kalau pulang ke sini malas ya nggak pa pa pulang ke rumahnya dulu. Sudah baik sekarang dia bekerja. Daripada kemarin-kemarin kan dia cuma nambahin beban nenekku.”
“Oh gue kira maen ame cewek laen, hehe. Lho nggak curiga apa, Yul?”
Aku mencubit pinggang Ulin, yang berbicara seenak jidatnya, sambil nyengir biar Yuli tidak terlalu notis. Yuli tampak tersenyum, tapi aku tahu di dalam hatinya tidak baik-baik saja. Mungkin dia sudah memiliki pemikiran itu sebelumnya, namun dia masih berpikir yang baik-baik untuk ketenangan hatinya. Senyum getir itu sungguh membuat batinku ngilu. Aku tak kuat lama-lama menatapnya.
“Nggaklah, dia kan emang kerjanya lumayan keras. Hasil keringatnya juga bisa buat bantu kebutuhan sehari-hari meski tidak seberapa. Ya maklumlah ijazah SMP aja nggak punya kan. Kalian yang hati-hati ya. Jangan tiru kesalahanku, biarkan aku saja yang mengalaminya. Kamu dan Ulin jangan. Udah nggak usah mikirin cowok dulu, An. Sekolah ajalah yang bener. Masih ingat kan sakitnya ditinggalin kayak kemarin?”
“Lhah kok aku yang kenak, hehe. Iya iya siap laksanakan!” Aku memasang tanganku ke pelipis selayaknya upacara bendera.
Sejak kejadian itu, Yuli selalu menasihatiku agar aku tidak tergoda oleh rayuan lelaki. Apalagi rasa sakit itu masih menyisakan bekas di hatiku. Dia berpesan agar aku berani meninggalkan lelaki yang meminta lebih atas diriku. Aku jadi ingat, dulu Nano sempat beberapa kali meminta cium di bibirku. Waktu itu, aku malah bingung harus mengiyakan atau menolaknya. Dulu malah aku sempat menyesal karena tidak menuruti keinginannya yang memungkinkan jika hal itu membuatnya meninggalkanku dan memilih cewek lain yang mau menuruti kemauannya.
Namun, sekarang aku bersyukur telah membuat keputusan itu sehingga aku tidak terjerembab seperti Yuli. Untung saja waktu aku lagi galau-galaunya bercerita sama Mbak Indah dan Mimin. Setelah mendengar nasihat mereka, keputusanku untuk menolaknya menjadi semakin kuat. Kalau misalnya aku tidak mendapat penegasan dari mereka, mungkin saja aku bisa khilaf untuk menuruti keinginannya agar dia bisa balik sama aku.
“An, Lu kenapa dah senyum-senyum sendiri?”
“Eh nggak pa pa kok. Lanjutin Yul ceritanya.”
Yuli pun kembali bercerita, katanya pacarnya mengancam akan meninggalkannya kalau dia tidak mau diajak berhubungan intim. “Karena dibutakan oleh cinta dan rayuan maut lelaki buaya, akhirnya aku luluh juga dan mau menuruti keinginannya Dimas.”
Yuli waktu itu khilaf menuruti keinginan pacarnya yang sontoloyo itu. Seseorang kalau sudah pernah sekali, orang akan melakukannya lagi saat ada kesempatan. Aku pernah membacanya entah di sosial media mana. Analoginya seperti ini, kamu habis mencicipi buah mangga untuk pertama kalinya, ternyata rasanya enak banget dan kamu suka. Aku yakin pasti kamu akan memakannya lagi lain kali kalau buahnya ada.
***
Mbak Indah pulang kampung karena kelasnya di hari Jumat kosong. Lumayan pulang kamis sore bisa di rumah tiga hari karena hari Minggunya sudah harus kembali ke Yogyakarta. Kemarin malam aku menjemputnya di terminal.
Aku merasa bosan dengan pelajaran di sekolah. Apalagi, jam pelajaran setelah istirahat kedua itu paling enak buat tidur siang. Mungkin aku hanya merasa muak dengan pelajaran yang aku tidak suka dan juga rutinitas setiap hari yang sama. Kayaknya aku butuh bepergian entah ke mana yang penting bukan di rumah dan sekolah.
“Ajak Mbak Indah aja kali ya. Mumpung dia lagi di rumah.” Aku berujar pelan. Kuambil ponselku yang kuletakkan di laci meja tempat dudukku. Tanganku turut sedikit masuk, memegang ponselku di dalam laci agar tidak ketahuan oleh guru. Aku pun mengirim pesan ke Mbak Indah untuk mengajaknya main besok.
Tidak berselang lama, ada pesan yang masuk. Ternyata itu bukan balasan dari Mbak Indah, melainkan pesan dari Heri yang mengajak aku main. Dia bilang sedang butuh hiburan, sama denganku. Dia jenuh.
Aku membalasnya dengan hati-hati sambil tetap menghadap ke papan tulis dan hanya sesekali melihat layar ponsel untuk memastikan kata yang kuketikkan tidak salah. Untung saja aku sudah hapal letak huruf pada layar ponselku.
Gas, aku juga lagi suntuk banget.
Setelah itu ada pesan masuk dari Mbak Indah. Aku membacanya cepat agar guru tidak curiga karena aku kerap menunduk menatap laci mejaku.
Boleh, yuk. Heri juga barusan komen statusku. Dia ngajak main.