Menghabiskan waktu bersama tidak lengkap jika tidak berfoto untuk mengabadikan momen hari ini agar bisa kita kenang dan kita ceritakan ke anak cucu kita nanti. Barangkali, kita nanti tidak lagi bertetangga dan sudah sibuk dengan kehidupan masing-masing. Setidaknya, foto ini bisa menjadi saksi kita di kala nanti. Kami berempat berswafoto dengan berbagai macam gaya. Ada juga saat di mana Heri berubah menjadi tukang foto aku, Mbak Indah, dan Mimin. Dia memang suka sekali memotret.
Melihat gelas yang hanya menyisakan tetes-tetes terakhir dan piring-piring yang telah kosong melompong, Mbak Indah pun mengajak kami pulang. “Pulang yuk, udah jam setengah sembilan nih. Belum beresin barang bawaan juga aku hehe. Ini uangku udah pas.”
Mbak Indah mengumpulkan uang ke tengah meja untuk membayar pesananannya. Mimin dan Heri juga menghitung biaya pesanannya dan turut mengumpulkan uang ke tengah meja.
“Aku kembali lima ribu. Aku ambil kembaliannya ini ya.” Mimin meletakkan uang tiga puluh ribu, lalu mengambil lima ribuan dari kumpulan uang tersebut.
“Aku tadi habis berapa ya. Yaudah nanti aku aja deh yang bayar biar tinggal nambahi kurangnya aja.” Aku mengambil uang yang telah terkumpul, menghitung dan meluruskannya.
“Yaudah yuk. Nanti ibunya Heri marah-marah lagi. Kan anak kesayangan.” Aku nyeletuk.
“Iya, masih ingat banget pas kita main petak umpet waktu kecil. Baru juga jam delapan, ibunya udah nyariin nyuruh dia pulang. Hahaha....” Mimin menimpali.
“Padahal anak cowok lo.” Aku terus menggoda Heri.
“Jadi pulang nggak nih?” Heri beranjak dari duduknya agar percakapan itu segera usai memojokkannya.
Ibunya memang sangat protektif. Jika sampai malam dia belum pulang, ibunya akan mencarinya sampai ketemu. Ketika sudah dicari belum ketemu juga, ibunya akan mencari temannya dan meminta tolong untuk menghubungi Heri agar segera pulang.
Kami bertiga pun ikut beranjak. Sambil berjalan menuruni tangga, aku mendengar Mimin menanyai Mbak Indah.
“Besok balik jam berapa, Mbak?”
“Aku naik travel yang sore, sekitar jam empat. Lumayan minggu pagi sampai siang masih bisa di rumah. Lagian, seninnya aku kelas siang jadi udah nggak capek perjalanan.”
“Emangnya sampainya jam berapa sih, Mbak?” Heri ikut bertanya.
“Jam sepuluh sampai sebelasan malam lah sampai depan kos.”
Mereka melanjutkan langkah menuju parkiran, sementara aku berbelok menuju kasir. “Her, tungguin dong.” Aku menarik kemeja Heri yang tidak dikancingkan.
Heri pun berhenti dan menungguku tidak jauh dari kasir, tanpa banyak argumen.
“Udah?” Heri menanyaiku setelah membalikkan badan dari kasir.
“Udah, yuk pulang.”
***
Di perjalanan pulang, kami pun mengobrol, membahas segala hal yang sebenarnya tidak penting. Akan tetapi, asyik untuk diperbincangan, apalagi kita selalu nyambung kalau ngobrol.
“Besok kamu mau ke mana, An?”
“Ha apa?” Aku mendekatkan kepala ke samping kepala Heri agar mendengar suaranya dengan jelas.
“Besok mau ke mana?”
“Em, tidur sampai siang aja sih, hehe....”
“Nggak ada agenda mau ke mana kek gitu atau ngapain gitulah?”