Sang raja siang sudah terlihat tidak terlalu garang. Aku pun bersiap mengenakan baju yang setidaknya lumayan buat foto. Masak iya pakai baju rumahan, kan nggak lucu. Aku sedikit memakai bedak dan lipstik tipis agar tidak terlihat pucat.
“Pakai kerudung nggak ya? Hmmm....” Aku berbicara sendiri di depan kaca. “Pakai aja deh daripada rambut juga udah kusut gini.” Aku memegang rambutku yang sudah kasar. Baru saja aku menyampirkan kerudung di kepala, sudah ada pesan dari Heri yang masuk. Katanya, dia sudah mau berangkat.
Iya, bentar. Aku bentar lagi juga otw.
Setelah membalas pesan Heri, kuletakkan kembali ponselku ke atas lemari kecil yang tingginya sedadaku. Aku pun bergegas mengenakan kerudung. Kutiup ujungnya agar rapi dan tegak. Lalu, kujarumi ke kanan dan ke kiri agar terlihat lebih rapi.
“Mau ke mana?” Ayahku bertanya dengan suara yang hampir tak terdengar, lebih ke berbisik tapi tidak didekatkan ke telinga. Aku membaca pertanyaannya dari gerak bibirnya dan kepalanya yang didongakkan ke atas saat mengucapkan kalimat itu.
“Mau main sama Heri.”
Setelah mendengar jawabanku yang mungkin tidak mengganggu pikirannya, ayahku yang baru berhenti mengamuk dari depan rumah, meneruskan langkahnya ke dapur. Sepertinya, dia mau makan.
Niatnya aku mau memakai sepeda saja karena cuma dekat. Namun, karena Heri sudah beberapa menit yang lalu berangkat, yang itu artinya sekarang dia sudah menungguku di Barat desa, aku memutuskan untuk mengendarai sepeda motor agar segera sampai. Aku pun menyambar ponsel dan kunci motor di atas almari susun yang ada di dekat cermin.
Tidak perlu waktu yang lama, aku pun sampai di tempat yang kami janjikan kemarin. Terlihat Heri sudah mulai memotret-motret capung yang hinggap di tumbuhan padi. Aku pun mematikan motorku dan masih duduk di atasnya karena tidak mau mengganggu Heri dulu. Aku mengamatinya dari atas motor. Takutnya, jika aku menghampiri Heri capungnya malah terbang.
“Fokus banget, bang?”
Heri menoleh ke arahku dan berjalan mendekat. “Wih mau ke mana, An?”
“Dih meledek ya nih orang. Katanya suruh ke sini, eh malah diledekin.”
Heri pun tertawa. “Hahaha, ya maksudnya kok pakai-“
“Yaudah deh aku pulang aja kalau gitu. Rese.” Aku agak sebal dengan omongan Heri. Sudah memakai bagus dan berdandan dikit biar nggak malu-maluin pas difoto malah dianya gitu.
“Eh...” Heri menahan tanganku yang hendak memasukkan kunci motor. “Gitu aja ngambek. Cantik kok.” Heri masih memegang tanganku.
Aku sedikit gugup, tapi terlalu lemah untuk menarik tanganku kembali. “Kamu sih ngeselin banget.” Aku memonyongkan bibir.
“Iya, iya, maaf.” Heri mengusap kepalaku dua tiga kali dengan tangan kriinya karena tangan kanannya masih memegang tanganku.
“Yaudah jadi foto nggak nih?”
“Yuk!” Heri menggandengku menuju tengah sawah, berjalan melewati tanggul-tanggul kecil yang memisahkan sawah padi milik orang.
Aku bingung harus bagaimana. Apakah aku harus menarik tanganku begitu saja ataukah aku memintanya untuk melepaskan? Sudahlah, sebentar lagi dia juga akan melepaskannya untuk memegang kamera yang dikalungkan di lehernya.
“Kamu coba ke sana, An.” Heri menunjuk ke tengah-tengah sawah dengan melepaskan genggaman tangannya padaku.
“Eh, e iya.” Aku pun berjalan ke sana. Berdiri menoleh ke samping sedikit dan tersenyum, tidak menghadap ke kamera.
“Tahan ya.”
Heri memotretku beberapa kali. Aku berganti gaya agar hasil fotonya tidak sama semua.
“Gitu katanya nggak pinter gaya, An, An.”
“Wih, sedang foto-foto ya. Cie berduaan.” Seorang laki-laki setengah baya yang pulang dari sawah miliknya dan melewati kami menyeletuk.
Aku menjadi malu, sementara Heri dengan santainya menjawab, “Nggeh, Pak.”.
Orang itu lalu begitu saja bersama seikat jerami di jok belakang motornya. Aku berjalan mendekat ke Heri.