Terkadang yang tidak ingin kita kenang sekarang, pernah indah di masanya.
Waktu sungguh tidak membiarkanku berjalan pelan. Aku sudah kelas dua belas saja. Padahal baru kemarin rasanya ikut MOPDB. Kalian harus mendengar kabar yang tidak mengenakkan lagi. Sekarang, Ulin dan Nano berpacaran, tapi aku tidak begitu mengambil pusing. Aku sudah tidak memiliki rasa sedikit pun kepadanya meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa luka itu belum sembuh sempurna. Mungkin efeknya lebih ke berhati-hati sama cowok agar tidak jatuh di lubang yang sama. Namun demikian, dia itu masa laluku. Jadi, yang berlalu kubiarkan berlalu. Hidup kan harus terus maju, nggak mundur.
Aku tidak ingin menjadi penghalang mereka untuk bahagia. Bahkan, Ulin sering kali cerita padaku tentangnya saat mereka bertengkar atau saat mereka pergi berkencan. Kalau dijadikan sinetron atau ftv jadi gini kali ya judulnya, Mantanku Berpacaran dengan Sahabatku atau Mantanku adalah Pacar Sahabatku.
Dia juga pernah bertanya kepadaku, “An, lu kagak kenape-kenape kalau gue jadian sama Nano?”.
Karena aku menjawab tidak apa-apa makanya dia menerima Nano sebagai pacarnya. Namun, aku juga tidak yakin dia akan menolaknya jika aku tidak berkata iya karena mereka sudah sama-sama suka. Semuanya terjadi begitu saja kawan. Aku baik-baik saja kok, sungguh.
Aku harus bisa mengubur masa lalu meskipun aku tidak akan melupakannya. Masa lalu bukan untuk dilupakan. Terkadang, hal yang ingin kita lupakan justru malah terus mencuat keluar sekuat kita berusaha melupkannya. Sama seperti sejarah, dia ada untuk dijadikan pembelajaran di masa mendatang. Lagi pula, tidak semua masa lalu itu suram. Terkadang yang tidak ingin kita kenang sekarang, pernah indah di masanya.
Sebenarnya, mamanya Ulin tidak setuju jika dia jadian sama Nano. Mamanya pernah berpesan kepada Ulin agar tidak berpacaran sama orang sedesanya, tapi karena anak semata wayangnya itu berpacaran secara sembunyi-sembunyi, semuanya berjalan lancar-lancar saja. Lagi pula, menurutku sebenarnya mereka tidak cocok. Nano tidak terlahir dari keluarga yang begitu kaya, sedangkan Ulin gaya hidupnya sangat hedon. Pakaiannya harus bermerk. Dia tidak akan mau memakainya kalau tidak barang branded. Malu katanya. Apalah daya diriku yang pakaiannya belanja dari pasar. Belanja dari distro pun ambilnya yang terbilang murah.
Temenin gue beli celana yok, An. Celana gue udeh pada sesek nih.
Ulin mengirimkan pesan wa kepadaku. Dia memang selalu mengajakku kalau pergi, kecuali kalau kencan sama Nano. Ya meskipun pernah sekali aku diajak mereka kencan dan kutolak. Yang benar saja, aku akan menjadi obat nyamuk di sana. Selain ajakan yang itu sih aku diajak pergi ya hayuk-hayuk saja. Tidak jarang, waktu diajak pergi ke tempat belanja dia pasti menawariku barang untuk aku pilih.
“Lu pilih dah yang lu suka, ntar gue bayarin.”
Ulin memang anaknya loyal banget sama temannya. Dia sudah nggak itung-itungan lagi kalau sama aku, tapi ya aku sadar diri. Aku nggak enak hati kalau dia ngasih-ngasih ke aku, apalagi barang mahal. Bagaimanapun juga dia tidak seberuntung aku dalam hal keluarga ya meskipun aku juga terbilang tidak beruntung sih.
Papa dan mamanya Ulin sudah bercerai sejak dia masih duduk di bangku sekolah dasar, tetapi keduanya sangat menyayanginya dan masih saling kontakan kalau urusan anak. Karena hal itu, Ulin mendapatkan jatah uang jajan dobel, papanya ngasih, mamanya juga ngasih. Kalau papanya aku nggak tau kerjanya apa karena Ulin tidak pernah bercerita sampai detail mengenai orang tuanya.
Yang aku tahu papa kandungnya orang Bekasi makanya dia kecil di Bekasi karena mamanya dulu ngikut papanya. Sekarang, Ulin hidup bareng sama neneknya di sini. Setelah bercerai, mamanya menjadi pejuang visa di Singapura. Karena majikannya baik, selain menjadi pembantu rumah tangga, mamanya juga buka katering makanan Indonesia. Jadi, penghasilannya lumayan besar. Sementara itu, Ulin adalah anak satu-satunya. Makanya mamanya selalu memanjakan dia. Semua yang dia minta pasti diturutin. Aku juga biasanya kecipratan oleh-oleh dari mamanya. Kalau papanya main ke sini ngajak jalan-jalan Ulin, aku juga diajak. Tidak hanya itu, ketika Ulin dibelikan sesuatu, terkadang aku juga dibelikan. Mereka berdua sangat baik sama aku. Mungkin karena aku teman terdekat anaknya kali ya.
“Oey, ngelamunin ape sih lu? Buruna pilih.”
“Eh, nggak ah, nggak usah. Kamu aja yang belanja.”
“Aelah santae bae napa. Eh, abis ini kita ngopi yok. Heri ajakin juga, ntar gue traktir. Lama gue kagak main sama tuh bocah atu. Tambah alim ape dah rusak dah tu bocah kira-kira, hahaha..”
“Masih sama sih dia. Tetap jomblo dengan banyak cewek yang suka.”
“Nunggu lu bilang iye kali, An.”