Hari yang dijanjikan kemarin telah lahir dari rahim mentari yang mulai menampakkan senyumannya. Pelan-pelan senyuman sang surya menghangatkan jiwa-jiwa manusia yang menjalankan segala aktivitasnya. Pasar mulai sesak dengan segala transaksi jual beli. Berbagai kendaraan turut memenuhi jalan. Tempat-tempat wisata mulai didatangi, tidak terkecuali kami bertiga.
“Kenape lu kagak jadian sama si Ana aje sih, Her? Masih kaku aje kalian sama perasaan masing-masing.”
Heri menatapku dengan tatapan yang aku tidak tahu apa artinya. “Jangan dengerin, Her. Suka ngasal emang omongannya Ulin tuh.”
“Hahaha, gimana kalau aku jadiannya sama kamu saja, Ul?” Heri berseloroh, tapi ada getar suara yang tampak ragu kedengarannya.
“Dih... kagak mau gue.” Ulin memasang wajah jijik.
“Lhah waktu di kelas dulu kamu pernah bilang mau gebet Heri, Ul.” Aku berujar.
“Oh iya ya, hahaha....”
Kami bertiga tertawa. Angin menyisiri rambutku dengan lembut. Duduk di bawah pohon besar dengan pemandangan kolam ikan di depannya membuatku merasa nyaman di sini. Meskipun mentari mulai garang, kami tidak kepanasan karena rimbunnya dedaunan. Heri duduk di pojok kanan, sementara aku di tengah mereka.
“Iya deh yang sudah punya doi. Perasaan gebetanmu banyak, Ul, kok milih ngambil mantan sahabat sendiri sih?” Heri menatap Ulin, tampak serius.
“Hati orang nggak ada yang tau, Her. Yang benci saja bisa jadi suka kok. Lagian, aku sudah nggak ada perasaan apa pun sama Nano. Santui lagi. Ambil aja. Dia cuma masa lalu.”
“Iye, lu, jangan kompor napa dah. Heran gue mulut cowok kenape pada lemes sih?” Ulin memajukan badannya untuk menoyor Heri. Aku hanya tersenyum melihatnya.
“Iya, iya, cuma bercanda kali. Kalian aja yang nanggapinnya terlalu serius. Btw, tadi malam kalian jadi ngopi?”
“Nggak jadi, kan kamu nggak bisa.”
“Ya maaf, kan bisa berdua sih pikirku. Malam minggu depan deh yuk!”
“Gue mah selalu gas. Lu bisa kagak?” Ulin menyenggol bahuku.
“Iya, bisa.”
Sekarang, malam mingguku sudah tidak nongkrong lagi sama Mbak Indah dan Mimin soalnya Mbak Indah sudah di Jogja. Dia kuliah mengambil jurusan matematika di salah satu universitas ternama Indonesia, sedangkan Mimin sudah tidak tinggal di rumah neneknya lagi. Makanya aku jadi lebih sering main sama Ulin.
Aku sama Mbak Indah paling berkirim pesan seperlunya. Ceritanya di simpan saat Mbak Indah pulang kampung. Sementara itu, sejak di rumahnya sendiri, Mimin jarang sekali main ke luar rumah. Nongkrong di poskampling juga jarang banget. Dia palingan mainnya ke rumah neneknya atau lewat depan rumahku kalau mau pergi ke rumah pacarnya. Iya, dia sudah tidak jomblo lagi.
Kini, Mimin tinggal di rumahnya dengan kakak dan mas iparnya. Bapak dan ibunya masih di Timika. Mereka pulang waktu lebaran Idul Fitri saja. Akan tetapi, kakaknya sekarang sudah berkeluarga sehingga sudah saatnya hidup mandiri. Mereka sudah sanggup hidup di rumahnya sendiri tanpa terus diayomi oleh neneknya. Lagi pula, sayang kalau rumahnya dibiarkan kosong terlalu lama. Bisa-bisa dipakai setan buat beranak-pinak.
Ah, sebenarnya memang sudah ada setan yang nongkrong di situ sedari Mimin kecil. Waktu itu dia masih tinggal di rumahnya sebelum bapak dan ibunya pergi merantau. Di kamarnya dia tidur sama kakaknya. Katanya dia pernah melihat ada mbak kunti duduk di atas almari bajunya. Dia hanya diam malam itu karena kakaknya sudah tidur. Besoknya dia baru bercerita ke bapaknya. Memang, waktu aku ke rumahnya juga merasakan hawa yang tidak biasa, seperti ada ruang hampa kalau bahasa Jawanya sih ‘suwung’.