Aku Ingin Ayahku Mati!

Putri Zulikha
Chapter #15

LELAKI YANG TAK TAHU DIRI

Mungkin, penyesalan akan menghampiri hidupnya kelak ketika gigi-giginya mulai tanggal dari gusinya.

Usai makan malam aku langsung bergegas ke rumah Yuli karena jika terlalu malam nanti aku bisa dimarahi ibuku. Dulu ibu mengambil dagangan dari sawah waktu fajar buta dan langsung dijual ke pasar pagi itu juga, tapi setelah dipikir-pikir lebih enak kalau ngambil dagangan di Abinya Mbak Indah, yang tak lain ialah Pakdhe Tumin. Biasanya sekitar jam setengah sembilan kiriman kacang panjang dagangan Pakdhe Tumin datang satu truk dari Jawa Timur. Para pedagang, termasuk ibuku, mengambil dagangan di sana.

Karena ibuku juga bekerja sebagai karyawan yang tugasnya mengikat kacang panjang untuk di jual ke pasar luar kota oleh karyawan lain Pakdhe Tumin, aku bertugas mengambil dagangan ibuku setiap malam. Dengan begitu kami mendapat uang tambahan di luar hasil penjualan ibuku di pasar.

Sebenarnya bisa saja membeli langsung dari sawah seperti yang sudah dilakukan ibuku sebelumnya, tapi kata ibuku kualitas kacangnya ternyata berbeda. Kacang yang dari sawah di sekitaran desa kami gampang gembos dan menguning jika tidak segera habis hari itu juga. Lagi pula, teknis pembayaran di tempat Pakdhe Tumin memudahkan pedagang.

Malamnya, ketika para pedagang mengambil barang dagangan mereka tidak perlu membayar dulu sehingga orang tanpa modal pun bisa berjualan. Setelah medapatkan uang dari hasil penjualan, pada malamnya ketika hendak mengambil barang dagangan lagi, para pedagang ditarik bayaran atas barang dagangan yang diambilnya kemarin. Bahkan, banyak di antara mereka yang mengutang dulu.

Tidak hanya menunggak bayar, ada juga yang benar-benar tidak membayarnya sampai berjuta-juta. Meskipun demikian, Pakdhe Tumin tidak mengambil pusing. Menurutnya, dirinya tidak dirugikan atas hal itu karena Allah akan memberikan gantinya dengan cara lain.

Katanya, “Yang rugi justru mereka sendiri karena uang yang seharusnya menjadi hak orang lain itu tidak berkah. Mereka tidak akan kaya karena tidak membayar hutangnya. Allah akan membuat hartanya menguap dengan berbagai cara.”

Itulah salah satu alasan yang membuat orang tua Mbak Indah disegani orang-orang di desa kami. Orang-orang sini juga banyak yang mendapatkan pekerjaan karena bisnis Pakdhe Tumin. Tidak jarang beliau rela rugi asal karyawannya tetap berpenghasilan untuk bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.

***

Nuwun...” tidak ada suara yang menjawab, kuulangi lagi sambil mengetuk pintu, “Nuwun... dok dok dok.”

Monggo, eh Ana masuk, An.” Nenek Yuli keluar dari dapur menyambutku, “Yuli tadi tak suruh beli kecap, Nduk, mau bikin nasi goreng malah kecapnya habis. Anaknya sudah tidur, masuk ke kamarnya saja kalau mau lihat.”

“Oh nggeh, Mbah. Udah dari tadi apa barusan, Mbah, perginya?”

Aku masih berdiri tidak jauh dari pintu masuk. Ada suara motor berhenti di depan rumah. “Lhah itu sudah datang. Tak tinggal ke belakang ya. Gosong nanti nasinya kalau nggak dibolak-balik.” Neneknya Yuli kembali ke dapur setelah menerima kecap dari cucunya. Sementara aku mengikuti langkah Yuli yang masuk ke kamarnya.

“Lama banget nggak main ke sini. Padahal masih satu desa, lho. Mana Ulin?”

“Stttt... jangan keras-keras. Anakmu kebangun kapok kamu. Ulin ada janji katanya, oh ya dia titip salam.”

“Waalaikumsalam. Ada janji sama siapa sih? Cowok barunya? Eh dia sekarang sama Nano ya?”

“Nggak. Dia jemput mamanya di bandara. Dia udah lumayan lama sih sama Nano, hampir sebulan apa ya. Nggak mau ikut campur terlalu jauh aku sama hubungannya. Kalau dia ngajak main ya aku hayuk, dia curhat ya aku dengerin. Udah gitu aja aku lah.”

“Iya benar juga sih. Yang penting kamu nggak sakit hati sama hubugan mereka. Mau kubilangin juga percuma. Bebel banget tuh anak. Eh mau minum nggak? Apa nanti sekalian kalau nasi gorengnya udah mateng?”

“Udah nggak usah repot-repot. Udah makan juga aku. Bentar lagi paling balik, orang mau ngambilin dagangan ibuku.”

“Oh iya ya, anak yang berbakti sama orang tua... hahaha.” Kami tertawa dengan suara yang sedikit berbisik.

Aku memegang-megang pipi anaknya Yuli yang sedang pulas dalam tidurnya. Yuli duduk di ujung kasur sambil bersender di tembok. Kamar Yuli berukuran 2,5 X 3. Kasurnya di bawah mepet tembok sebelah kanan. Tidak ada amben di sana. Kirinya kasur yang pas pintu ada lemari kecil sama cermin nempel di tembok. Sebelahnya ada colokan buat ngecharge hp sama nyalain kipas duduk yang berukuran kecil. Atapnya masih genteng, tidak diternit. Sesekali tikus lewat di kayu yang menyangga atap.

Lihat selengkapnya