Aku Ingin Ayahku Mati!

Putri Zulikha
Chapter #16

HARI PELEPASAN

Malam konser pun tiba. Langit hari ini terlihat agak gelap. Sebelum matahari terbenam tadi, tampak awan-awan mendung nan tipis menghiasi langit. semoga saja tidak hujan. Aku dan Ulin sudah berada di tengah-tengah konser. Bang Ariel menyanyikan lagu Menghapus Jejakmu. Lagu itu adalah salah satu lagu kesukaanku. Aku pun mengeluarkan ponselku, membuka kamera untuk membuat video Bang Ariel yang sedang bernyanyi dan mengabadikan keseruan momen konser malam ini.

Aku merekam sambil turut bernyanyi meski suaraku tidak bagus. “Terus melangkah melupakanmu, lelah hati perhatikan sikapmu, jalan pikiranmu buatku ragu tak mungkin ini tetap bertahan...”

Aku pun mengunggahnya ke status waku dan kembali menikmati konser.

“An gue laper nih. Cari makan yok!”

“Ha, apaan?” Aku mendekatkan telinga ke Ulin dan berusaha menerka-nerka perkataan Ulin. “Kuper?”

“Laper! Makan yuk!” Ulin terlihat mengeraskan suaranya lagi supaya tidak kalah dengan keraimaian konser.

“Oh iya ya, bentar nanggung. Habis lagu ini sekalian pulang!”

Ulin mengangkat tangannya. Jarinya membuat tanda oke. Rasanya ada getaran di ponsel yang kukantongi di celana, tapi aku menghiraukannya.

Setelah lagu itu selesai, kami pun menjauh dari kerumunan penonton. Di pinggiran jalan yang sudah tidak begitu padat orang kami melihat penjual makanan kaki lima berjajar.

“Mau makan apa lu An?”

“Em, apa ya. Empek-empek deh yang seger. Kamu?”

“Sekalian pempek juga dah.”

“Eh aku bukan pempem, empek-empek.”

“Iya same aje kan.” Kami terus berjalan mendekati pedagang-pedagang itu.

“Bukan, empek-empek itu dari gorengan, kayak lumpia, bakwan, tempe, tahu, dan lainnya yang dipotong-potong terus dikasih kuah gitu.”

“Oh kirain same. Yaudeh gue itu juga, sekalian nyobain.”

Kami pun mendatangi pedagang empek-empek dan duduk beralaskan tikar yang digelar pedagang tersebut di belakang gerobaknya.

“Dua, Pak.” Kataku.

“Minumnya apa?” Seorang perempuan yang tampaknya adalah istrinya bapak penjual empek-empek menghampiri kami.

“Aku es teh.”

“Es teh dua, Buk.” Ulin menjawab.

Kami menunggu pesanan sambil bermain media sosial. Aku pun memotret gerobak pedagang empek-empek, lalu kubuat status dengan kata-kata, Melipir dulu karena perut memanggil.

Ternyata ada pesan yang masuk berasal dari Kevin, kenalan dari facebook sekaligus adik kelaku waktu SMP.

Aku juga nonton. Kok nggak ketemu ya kita.

“Lhah orang sebanyak ini bisa ketemu ya kecil kemungkinanlah.” Kataku sambil mengetikkan pesan balasan.

Sini ke pedagang empek-empek. Aku lagi makan di situ sama temanku.

Aku mendengar ada orang lain yang memesan. Setelah kulihat tampak tidak asing. Aku mau memanggilnya, tapi takut salah orang. ‘Ah bodo amat, aku coba panggil saja. kalau tidak nanti pura-pura maian hp’, gumamku dalam hati.

“Kevin.”

Dia menoleh dan, “Eh, Ana kan?”

“Iya, hehe.”

“Sini aja gabung sekalian.” Ajakku.

“Siape, An?” Bisik Ulin.

“Yang waktu itu kamu suruh buat nerima permintaan pertemanannya.” Aku membalasnya pelan agar tidak terdengar oleh Kevin.

“Oh, sini, sini, barengan.”

Lihat selengkapnya