Kepada siapa kami harus mengadu? Memangnya suara kami akan didengar?
Seperti hari-hari biasanya, setiap jam empat pagi aku harus bangun untuk mengantarkan ibuku ke pasar menjual kacang panjang. Dulu, waktu aku masih kecil dan tubuh ibuku masih terlibang muda, ibu pergi ke pasar naik sepeda onthel butut miliknya. Boncengannya diberi kayu yang telah dibentuk persegi panjang dengan membentuk kotak-kotak bolong berbentuk persegi panjang lagi kecil-kecil di dalam kotak persegi panjang besar tersebut.
Kami menyebutnya sebagai anjapan dalam bahasa Jawa. Anjapan tersebut digunakannya untuk memboncengkan kacang panjang yang akan dijualnya. Jarak antara pasar tempat jualan ibuku dengan rumah memang cukup jauh. Jika dihitung dengan naik sepeda motor kira-kira sekitar 15—20 menit dengan kecepatan normal.
Pernah suatu pagi ibuku menabrak selangkangan polisi lalu lintas yang bertugas mengatur jalan. Maklum saja, sepeda ibuku tidak ada remnya sehingga tidak bisa berhenti seenaknya dengan mudah. Katanya, polisi itu memberhentikannya mendadak. Bayangkan saja seorang polisi dengan perut buncit yang sedang menyeberangkan pengendara dari gang perumahan maju agak ke tengah jalan dengan posisi membelakangi pengguna jalan yang distopnya. Kemudian, di tengah rasa bangga atas pekerjaannya dengan membusungkan dada, tiba-tiba dari belakang ada seorang wanita setengah baya yang panik dan segera turun dari sepedanya.
Karena roda sepedanya masih terus berputar, wanita itu sedang bersusah-payah menghentikan laju sepeda bututnya dengan sedikit lari mengikuti stang sepeda yang digenggamnya erat. Lalu, tanpa diduga sebelumnya wanita tersebut menabraknya dengan roda sepeda depan melewati selangkangannya. Aku tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya. Sungguh kejadian lucu yang sangat langka. Mungkin kalau divideo akan menjadi viral pada zaman sekarang ini.
Polisi itu lantas marah-marah dan mengatakan begini, “Kalau saja Anda laki-laki sudah saya tinju muka Anda!”
Sementara ibuku hanya menatap wajahnya tanpa bicara sepatah kata pun. Tatapan itu sekilas, tapi mengandung sedikit kebencian. Ibuku melengoskan mukanya. Ibu tidak begitu menghiraukan amarah polisi itu, dia justru menatap kacang panjangnya yang patah beberapa.
Polisi buncit itu sama sekali tidak memedulikan dagangan ibuku yang jatuh bersamaan dengan menggulingnya sepeda. Karena kejadian tersebut berada tepat di depan Alugoro, yaitu tempat yang kami namai untuk menyebut bangunan kontingen TNI angkatan darat kota kami, ada seorang tentara muda, yang sedang berjaga di pos depan, datang menolong ibuku.
“Nggak apa-apa, Buk?” Tanyanya dengan ramah dan menerbitkan senyum dibibirnya.
“Eh nggak apa kok, terima kasih ya, Le (panggilan untuk anak laki-laki di Jawa).”
Terkadang, tentara memang lebih dekat dengan masyarakat, atau mungkin bukan lagi terkadang, tapi cenderung meskipun tidak selalu dalam hal positif. Aku sering mendengar TNI angkatan darat disebut-sebut dalam peristiwa yang melibatkan rakyat banyak.
Di sisi lain, polisi banyak tidak disukai oleh rakyat kecil karena keberadaan mereka di mata kami justru menakutkan, jauh dari memberi rasa aman. Bagaimana tidak, rakyat kecil yang mati-matian mengumpulkan uang demi sesuap nasi untuk esok hari ketika ada operasi jalan harus ditodong berpuluh-puluh ribu yang lebih besar dari penggasilannya yang didapat hari ini. Boro-boro untuk membayar pajak motor bututnya, untuk bayar sekolah anaknya saja harus mencari hutangan sana-sini.
Jika kamu ingin berdalih soal dana bantuan dari pemerintah, aku akan tegas bilang bahwa banyak dana bantuan yang salah alamat. Pemerintah desa tidak dengan adil dan cermat dalam membagikan dana dari pemerintah pusat. Lalu ke mana uangnya? Ada yang masuk ke kantong orang yang sebetulnya masih mampu atau masuk ke kantongnya sendiri. Aku tidak menuduh, tapi memang begitu adanya di desaku.
Ada seorang lelaki dewasa yang tidak begitu waras di desaku. Tentu saja dia tidak bekerja. Setiap hari kerjaannya hanya jalan memutari desa dengan air liurnya yang terus menetes karena dia seolah tak hendak menutup mulutnya. Ibunya pun sudah tua dan kurang berada. Sementara itu, ayahnya sejak dia kecil sudah meninggal dunia. Hidupnya ditopang oleh tetangga yang kasihan kepadanya.
Yang ingin saya beritahukan adalah dia tidak termasuk sebagai orang yang mendapatkan bantuan dari pemerintah, sedangkan tetangga saya yang lain dengan kehidupan yang jauh lebih layak dari lelaki tersebut justru mendapat bantuan untuk dibedah rumahnya. Alasannya hanya sepele saja yang kudengar dari ibu-ibu, yaitu karena tetangga yang dibantu tersebut ialah tim suksesnya. Omongan tersebut memang ada benarnya juga, istri kepala desaku memang kumpulnya sama tetangga tersebut. Urusan dana desa seperti dibuat main-main dan sesukanya.
Lalu, yang kami bisa hanya menerima dan mengeluhkannya saja dengan sesama orang tidak punya yang bernasib sama. Kepada siapa kami harus mengadu? Memangnya suara kami akan didengar? Pasti juga akan menjadi angin lalu. Pun kalau dana itu turun di tangan yang benar, jumlahnya kerap tak lagi sama dengan yang semestinya diberikan pemerintah pusat.
Sudahlah yang kami bisa lakukan hanyalah berusaha sendiri untuk mencukupi hidup, seperti yang dilakukan ibuku. Karena bantuan dari mbakku yang suaminya berada, aku dibelikannya motor metik waktu aku kelas sebelas. Mulai saat itu juga tugasku setiap pagi mengantar ibuku ke pasar. Dengan kuantarkan, ibu bisa berangkat jauh lebih pagi dan tidak perlu capek-capek mengayuh sepeda dari rumah ke pasar dan ke rumah lagi.
Sekarang, kalau pulang, ibu naik angkutan umum. Setidaknya itu bisa memudahkannya karena tubuhnya sekarang tak lagi muda. Badannya sudah tidak kuat lagi jika diajak kerja keras seperti dulu. Umurnya saja kini sudah enam puluhan. Dengan mengantarkannya pula intensitasku sebagai kategori anak durhaka nampaknya menjadi berkurang.
“An, ayo bangun!”