Motor melaju di jalan yang samping kanan-kirinya sawah karena desa tempat jualan ciloknya agak jauh dari jalan raya. Angin sepoi-sepoi menampar pipiku karena aku tidak memakai helm. Langit biru digoresi awan putih tipis-tipis. Sore ini tampaknya cerah secerah kerudungku yang berwarna merah muda membara. Alam nampak mendukung semangatku untuk pergi berkencan nanti malam.
“Nanti aku mau pergi, Mbak, nonton konser di Stadion.”
“Sama bebeb?”
“Iya dong. Eh Mbak, Ulin semakin menggila tahu. Setiap aku pergi sama dia, pasti ada saja lelaki yang melihat ke arahnya. Tatapan-tatapan mata itu terlihat nggak biasa. Mereka tuh melihat Ulin mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut, tidak terlewat sedikit pun. Aku pernah bilang padanya mengenai hal itu, tapi responsnya biasa saja. Dia malah sama sekali tidak merasa terganggu.”
“Ya dinasihatin, An, kalau bisa. Biar dia lebih menjaga diri dari lelaki. Terlebih, supaya dia nggak keblablasan.”
“Sudah, Mbak, tapi ya itu, dia selalu meremehkannya. Pernah juga, pas di jalan berhenti di lampu merah, dia dilihatin cowok kayak yang kubilang tadi. Karena dilihatin terus dia tanya ke masnya, kenape mas?, eh waktu lampu sudah hijau, si masnya ngejar dong, Mbak. Terus dia tancap gas sebisa mungkin lewat jalan-jalan berliku masuk gang desa biar bisa lolos dari mas-mas itu. Aku kan ngeri kalau gitu, Mbak. Mana nggak cuma sekali dua kali lagi. Sudah tak ingetin berkali-kali, tapi diulangi terus. Lagi-lagi aku bisa apa. Huh...”
“Ya kalau nggak bisa dibilangin, didoain saja. Yang paling penting kamu jangan sampai seperti itu.”
Inilah yang aku suka dari Mbak Indah. Dia tidak pernah memaksaku untuk mengikuti sarannya. Kalau aku menurut ketika diingatkan dia akan senang, sementara kalau aku tidak melakukannya dia tidak akan memarahiku.
***
Benar prediksiku. Malam ini bintang-bintang terlihat lebih indah dari biasanya karena malam lebih gelap dan pekat. Apalagi, ditemani dengan pujaan hati. Meskipun ramai orang bernyanyi dan berjoged bareng sobat ambyar, aku merasa malam ini milik kami berdua. Dia memegang tanganku erat, seolah dia takut kehilanganku. Takut kalau aku tenggelam dalam lautan manusia di sini.
Kami ikut bernyanyi dan berjoged hingga lagu terakhir dibawakan oleh sang maestro, “Cendol dawet seger! Piro? Limangatusan. Opo? Gak pake ketan. Ji ro lu pat mo enem pitu wolu. Tak gintang gintang, oey... Lo lo lo lo”
Rasa lelah bekerja hari ini terbayarkan dengan keseruan malam ini bersamanya. Kami beranjak pulang.
“Pacarku, lapar nggak? Makan dulu yuk!”
“Ih, nggak ah sudah jam sepuluh lebih. Makannya di rumah aja ya.” Menurutku ini sudah terlalu malam. Bukan hanya takut omongan tetangga, tapi takut dicari ayahku. Bisa-bisa dia membuat tetanggaku tidak bisa tidur nyenyak malam ini karena amuknya.
“Yah, yaudah deh.”
“Nanti hati-hati ya pulangnya kan lewat persawahan, sepi.”
“Siap tuan putri.”
Dia menoleh ke arahku. Aku tersenyum, lalu memeluknya dari belakang. Motor berjalan begitu pelan. Kata Kevin biar waktu bersamanya lama.
“Em, Kev aku mau ngomong jujur sama kamu.” Aku ragu-ragu hendak memberitahukan bahwa ayahku tidak seperti ayah orang lain pada umumnya. Aku takut jika Kevin tidak bisa menerimanya, tapi sampai kapan aku harus menyembunyikan hal ini. Lambat laun pasti akan terbongkar juga.
“Iya, gimana sayangku?”
Sejenak, aku hanya bisa diam. Terjadi perang batin dalam diriku. Namun, aku sudah bertekad untuk mengatakan sejujurnya. “Em, ayahku, em, dia, gila.” Aku gugup mengucapkannya.
“Iya, terus?”
“Kok kamu biasa aja sih? Ayahku tidak seperti ayah orang pada umumnya. Ayahku punya gangguan jiwa.”