Aku pernah bilang bahwa aku sempat tinggal bersama dengan Mimin di rumah neneknya. Waktu itu, pagi hari waktu ibuku sedang menyiram pohon jati di belakang rumah yang dekat dengan sungai, ayahku tanpa disangka-sangka datang marah-marah dan mendorong ibu dari belakang. Hampir saja ibuku jatuh ke sungai. Namun, untungnya ada tanaman-tanaman setinggi dada persis di pinggir kali sehingga ibuku tersangkut di sana.
Tidak berselang lama, ada seorang lelaki pencari pasir sungai yang melihatnya. Lelaki tersebut berlari menaruh sebakul pasir perolehan sekenanya dan segera menolong ibuku. Sementara ayahku kembali berjalan ke rumah dengan santainya seolah tidak pernah melakukan kesalahan.
Setelah kejadian itu, ibu membawaku untuk kabur dari rumah. Karena ibu masih harus berjualan di pasar dan aku harus tetap berangkat ke sekolah, kami berpindah-pindah menginap di rumah tetangga. Ketika ayahku sudah mengetahui tempat persembunyian kami, dia akan mendatangi rumah itu. Lalu, dia mencari ibuku dan marah-marah kepadanya. Bahkan, dia tidak segan-segan bertindak kasar.
Oleh karena itu, setiap kali ketahuan kami akan berpindah tempat menginap. Untung saja masih banyak tetanggaku yang baik hati mau menampung kami, salah satunya adalah neneknya Mimin. Neneknya Mimin memiliki kamar kosong di dapur, sebelah lorong kamar mandi. Kamar itu gelap seperti tidak berpenghuni meski kami tempati sehingga aku dan ibu aman berminggu-minggu di sana.
Karena kabur dari rumah yang masih di satu desa belum aman juga, ibu mengajakku menginap di rumah budheku, di desa sebelah. Jika ke sana, aku harus melewati dua desa dan jalan persawahan yang memisahkan antardesa terlebih dahulu. Aku yang waktu itu masih kelas empat sekolah dasar harus menyepeda setiap berangkat dan pulang sekolah sebegitu jauh, apalagi untuk ukuran anak-anak. Mengetahui aku berada di rumah budheku, ayahku juga sempat beberapa kali ke sana untuk mencari ibuku. Entah dari siapa dia bisa tahu.
Ayahku pernah datang ketika aku dan ibuk sedang mandi sore. Untung saja waktu itu kami sudah hampir selesai berganti baju. Kami yang mendengar suara teriakan ayahku dari luar lantas diam dan bersembunyi di pojok kamar mandi. Ayahku menggedor-gedor pintu kamar mandi.
“Buka pintunya, aku tahu kamu ada di dalam! Dok, dok, dok! Keluar kamu!”
Aku dan ibu tetap saja membisu. Kami berdoa agar ayahku segera balik dari situ. Suara itu berhenti juga. Kami sedikit lega dan melonggarkan badan yang tadinya meringkuk di pojokan. Akan tetapi, tidak pernah kami sangka sebelumnya, ayahku naik ke atas kamar mandi melihat kami. Karena rumah budheku joglo, tembok kamar mandinya tidak sampai menutup ke genteng sehingga kalau naik ke atas tembok kita bisa melihat siapa yang ada di dalam. Kami pun kaget bukan main.
“Keluar!!!”
Kami pun terpaksa menuruti permintaannya. Karena kalau tidak, ayahku akan bertindak lebih konyol lagi. Ketika pintu kamar mandi kami buka, dia baru saja berhasil turun. Ibu menggendongku dan segera berlari dan pakdheku yang baru sampai rumah segera memegangi ayahku dan menyuruhnya pulang. Ayahku tidak nurut begitu saja dengan permintaan pakdhe. Dia justru berontak dan memarahi lelaki yang kalah besar dari ayahku itu.
“Nggausah sok-sokan belain mbakyumu. Lepasin!”
Dengan sekuat tenaga pakdhe memegangi ayahku, tapi tetap saja tenaganya pakdhe kalah. Sangat beruntung sekali, tetangga yang mendengar suara keributan menghampiri rumah budhe dan segera menolong pakdhe meringkuk ayahku. Tiba-tiba rumah budhe menjadi sangat ramai. Melihat keadaan yang tidak memungkinkannya dia menang, ayahku pun menyerah.
“Lepasin! Aku mau pulang.”