Udara dingin subuh di stasiun kereta api kecil itu menusuk kulit Renita. Tas lusuhnya tak sebanding dengan berat beban di hatinya. Di sampingnya, Satrio, anaknya yang baru berusia 15 tahun, menggenggam erat ujung kebaya muramnya. Mereka meninggalkan kampung terpencil di Jawa Tengah, meninggalkan ladang yang gersang, dan meninggalkan aib terberat: pengkhianatan suaminya yang ketahuan berselingkuh dengan tetangga. Renita tidak hanya merasa dicampakkan; ia merasa gagal sebagai seorang istri dan ibu yang tak mampu lagi menafkahi anaknya di desa.
"Kita akan tinggal di tempat yang lebih besar, Nak. Ibu akan kerja keras. Kamu harus janji, di sana kamu sekolah yang rajin," bisik Renita, mencoba menahan getar suaranya.
Tujuan mereka adalah Jakarta, kota yang digembar-gemborkan sebagai tempat segala mimpi bisa terwujud, atau setidaknya, tempat mereka bisa menghilang dari tatapan penghakiman tetangga.
Nasib mempertemukan Renita dengan Rafli di terminal bus Jakarta yang riuh. Rafli adalah seorang pria paruh baya yang rapi dan tampak berwibawa. Wajahnya tidak asing; ia adalah mantan mandor proyek pembangunan jalan yang pernah singgah di desa Renita beberapa tahun lalu.
Rafli, melihat Renita yang kebingungan dengan tas besar dan seorang anak kecil, menyapanya. "Kamu Renita, kan? Yang suaminya si 'anu'?" Tatapan mata Rafli membuat Renita sedikit merinding, namun ia membutuhkan pertolongan.
Renita menceritakan singkat kesulitannya. Rafli, tanpa basa-basi, langsung menawarkan pekerjaan. "Istriku sedang butuh asisten rumah tangga. Daripada kamu bingung, ikut saya saja. Gajinya lumayan, dan kamu bisa bawa anakmu. Tinggal di rumah, makan ditanggung."
Tawaran itu terasa seperti oase di gurun yang panas. Renita tahu mengambil pekerjaan dari orang yang baru dikenal itu berisiko, tetapi ia sudah terlalu lelah untuk mencurigai kebaikan. Tanpa pikir panjang, ia memberanikan diri. "Baik, Pak. Saya mau," jawabnya.
Rumah Rafli di kawasan elit Jakarta adalah sebuah istana megah yang kontras dengan gubuk kayu yang ditinggalkan Renita. Renita dan Satrio ditempatkan di kamar ART di bagian belakang rumah, sempit, namun bersih. Satrio senang karena ada kamar mandi sendiri dan bahkan televisi kecil.
Pekerjaan Renita dimulai. Rafli jarang di rumah karena kesibukan bisnisnya, tetapi ketika ia ada, ia selalu bersikap ramah, bahkan terkadang memberikan uang saku lebih kepada Satrio. Di mata Renita, Rafli adalah juru selamat.
Namun, keberadaan Renita segera menimbulkan percikan api.
Istri Rafli, Nyonya Linda, adalah seorang wanita sosialita yang anggun, tetapi memiliki mata yang tajam dan hati yang penuh kecurigaan. Renita memang memiliki paras yang cantik alami, kulitnya sawo matang bersih dan senyumnya tulus, meskipun tertutup oleh kesedihan. Kecantikan itulah yang membangkitkan monster dalam diri Nyonya Linda.