Satrio melangkah ragu melewati gerbang megah SMA Harapan Bangsa. Nama sekolah itu terasa ironis; di mata Satrio, harapan terasa mahal, hanya bisa dicapai oleh mereka yang sudah punya. Hari itu adalah hari pertamanya, hari di mana ia mengenakan seragam putih abu-abu baru yang Renita beli dengan separuh gaji bulanan yang ia peroleh dari neraka Tuan Rafli.
Di area parkir, puluhan mobil mewah berjajar rapi. Satrio turun dari angkot yang kumal, kontras yang menusuk tak terhindarkan. Ia tahu ia berbeda. Ia membawa bau gang sempit dan keringat, sementara siswa-siswa lain memancarkan aroma parfum mahal dan kenyamanan. Rasa minder itu segera ia telan, diganti dengan tekad yang dingin: aku di sini untuk Ibuku.
Di dalam kelas X-A, yang berpendingin udara dan berbau baru, semua mata tertuju padanya. Bukan hanya karena ia anak baru, tapi karena fitur wajahnya. Satrio mewarisi gen ayahnya yang dulu sempat bekerja di perusahaan asing—matanya berwarna biru terang, kontras mencolok di kulitnya yang sawo matang. Ia tampak seperti "orang Jerman" di tengah siswa-siswa lokal.
Perhatian itu tak disambut baik.
Wali kelas mereka, Ibu Siti Gabalia, masuk dengan langkah yang dibuat-buat anggun. Ia adalah wanita paruh baya dengan riasan tebal dan pakaian bermerek tiruan—cerewet, sok cantik, dan norak, sesuai deskripsi para siswa.
"Anak-anak, kita kedatangan murid baru. Silakan Satrio, perkenalkan dirimu," ujar Bu Siti dengan nada manja, sambil membetulkan tatanan rambutnya.
Satrio berdiri, pandangannya lurus ke depan. "Nama saya Satrio. Saya dari SMP Negeri. Mohon bantuannya."
Saat ia kembali duduk, Bu Siti meliriknya dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu berkomentar keras, "Kamu mirip artis luar negeri, ya. Tapi jangan kebanyakan melamun di kelas, ya! Di sini kita harus berprestasi!"
Satu kelas tergelak, tawa yang tidak ramah, melainkan tawa meremehkan.
Satrio duduk di bangku paling belakang, mencoba sekuat tenaga menjadi tak terlihat. Namun, keberadaannya terlalu mencolok bagi Rafael, pemimpin geng yang duduk di barisan depan. Rafael adalah anak pengusaha real estate, arogan, tampan dengan kekayaan yang tak terbatas, dan senang merundung.
Saat jam istirahat, Satrio sedang membaca buku di mejanya. Rafael menghampiri, didampingi dua pengikutnya yang cekikikan.
"Hai, bule kampung," sapa Rafael dengan senyum mengejek. "Angkotmu tadi bau ikan asin, ya? Anak 'Harapan Bangsa' naik taxi kuning? Nggak ada mobil jemputan, Mas?"