Pagi itu, Satrio duduk di bangku kayu kamar belakang, sarapan sepotong roti tawar yang keras, mencoba mengumpulkan energi untuk menghadapi hari kedua di SMA Harapan Bangsa. Ia sudah mengenakan seragam, tasnya sudah siap. Di luar, suara kemewahan rumah besar itu terdengar samar, kontras dengan sunyi dan pengapnya kamar mereka.
Tiba-tiba, suara nyaring dan melengking menusuk telinganya. Itu adalah jeritan Nyonya Linda, memanggil Renita dengan nada yang penuh amarah.
"Dasar perempuan kampung! Ke sini cepat! Sudah kubilang, jangan taruh sabun murahan itu di kamar mandiku!"
Satrio mengepalkan tangan di atas rotinya. Ia sudah terbiasa dengan suara kasar itu, tetapi setelah penghinaan yang ia alami di sekolah, dan kini mengetahui ibunya menahan semua ini demi dirinya, amarahnya memuncak. Darahnya terasa mendidih.
Satrio berjingkat menuju celah kecil di dinding dekat dapur. Ia mengintip.
Pemandangan itu bagai pukulan di ulu hatinya.
Renita berdiri menunduk di dekat meja dapur. Wajahnya pucat. Nyonya Linda berdiri di depannya, wajahnya merah padam. Tanpa ampun, Nyonya Linda menarik rambut Renita dengan keras, seolah menarik tali kekang binatang.
"Kau pikir kau siapa?! Berani-beraninya melirik suamiku, hah?! Pelayan tidak tahu diri!" Linda membentak, menyertai tarikan keras yang membuat Renita meringis kesakitan.
Melihat ibunya diperlakukan sehina itu, benteng terakhir kesabaran Satrio runtuh. Ia tidak lagi berpikir tentang sekolah, Rafli, atau ancaman pengusiran. Yang ada hanya naluri proteksi.
Satrio membuka pintu kamar belakang dengan kasar. Langkahnya cepat menuju dapur.
Nyonya Linda terkejut dengan suara kedatangan Satrio. Sebelum ia sempat berbalik, Satrio sudah berada di sebelahnya.
Tanpa berkata apa-apa, Satrio menampar pipi Nyonya Linda dengan keras. Suara tamparan itu memecah keheningan rumah mewah tersebut.
Nyonya Linda terhuyung, tangannya refleks melepaskan rambut Renita. Ia memegangi pipinya yang langsung memerah, matanya melebar tak percaya. Renita hanya bisa terkesiap, ketakutan melihat keberanian anaknya.
"K-kamu! Anak kurang ajar! Berani-beraninya!" jerit Linda, suaranya tercekat antara marah dan terkejut.
Satrio tidak mundur. Ia berdiri tegak di depan ibunya, melototkan mata birunya yang tajam, tatapannya jauh lebih dingin dan menakutkan daripada yang pernah Linda lihat pada suaminya.
"Dengar baik-baik," kata Satrio, suaranya rendah dan penuh penekanan, "Kami ada di sini bukan karena Ibu. Kami datang ke sini karena suami Ibu yang mengajak kami."
Ia menunjuk ke pintu keluar. "Kalau bukan karena Tuan Rafli, kami tidak akan sudi menginjakkan kaki di rumah yang penuh dengan jeritan dan siksaan ini. Kami bukan anjing Ibu!"