Dirimu kotor! Suci. Dirimu Kotor! Kembalilah ke asal namamu!“ Bisikan-bisikan itu bagai dengungan lebah mengerubungi gendang telinganya. Setiap saat, menyengat pendengaramnya tanpa henti. Bisikan suara dari seorang wanita yang terus mengganggunya.
“Tidaaak! Aku tidak kotor! Aku mohon berhentilah kau bisikkan suara itu lagi padaku. Tolong berhentiiiii,” Pekik Suci histeris. Melinda yang tidur disebelahnya akhirnya terjaga.
“Suci, ada apa? Siapa yang kotor?” tanya Melinda cemas.
Bukannya menjawab, Suci malah menuju wastafel dan mencuci tangan serta kakinya berulang-ulang.
“Kamu tidak perlu membersihkan apa-apa Suci. Berhentilah mencuci tangan dan kakimu berkali kali. Tak usah mendengarkan suara-suara itu lagi,” bujuk Melinda sambil menyeretnya masuk kembali ke kamar.
Aku memang kotor, Melinda, andai kau tahu bahwa dulu aku pernah berbuat yang tidak sepantasnya kulakukan. Rasa bersalah ini terus menggerayangiku
“Melinda, tolong aku. Hentikan suara-suara itu, karena aku sudah tidak sanggup! Pekik Suci sambil membentur-benturkan kepalanya ke tembok kamar.
“Astaghfirullah alazim. Suci! Jangan sakiti dirimu seperti itu sayang, kumohon, jangan lagi berbuat yang bisa mencelakakan dirimu. Sungguh, aku tidak sanggup melihatnya Suci.”
“Aku pengen mati aja Melll... Aku pengen pergi dari hidupku yang menyakitkan ini. Aku sudah tidak tahan Mellll! Bunuh saja aku Mel, atau lemparkan saja tubuhku ke jurang biar segera musnah dari muka bumi ini, agar tak kurasakan dan kudengar lagi suara suara menakutkan itu,” pekik Suci sembari menjenggut rambutnya sekuat-kuatnya.