Matahari mulai merangkak lebih tinggi. Suci terbangun dari tidurnya, saat mentari masuk dari jendela menyinari wajah kuyunya yang serupa mayat hidup. Semangat hidup sedikitpun tak terlihat dari pancaran kedua matanya. Badannya yang lengket oleh keringat, tak jua membuatnya ingin beranjak ke kamar mandi. Aroma tubuhnya yang berbau karena belum terkena air dan sabun seharian, menyengat hidung. Namun Suci tetap tak bergeming sedikitpun dari peraduannnya. Suci tak lagi terobsesi untuk membersihkan dirinya dengan air dan sabun seperti beberapa hari kemarin. Menurutnya yang ia butuhkan kini adalah mandi Suci yang sebenarnya. Bukan mandi biasa seperti ritual setiap pagi dan sore yang biasa ia lakukan. Baginya, sabun hanya bisa membersihkan kulit dan fisiknya saja, tapi tidak jiwanya yang kotor dan penuh dosa. Akh, ia harus secepatnya mengikuti bisik bisik itu untuk segera menyucikan dirinya. Mungkin setelah itu, malapetaka tak lagi mengikutinya akibat dosa dosa yang dulu pernah ia lakukan. Ohh....Suci menutup wajahnya sembari menangis. Melinda yang mendengar isak tangis Suci, segera merangkul tubuhnya.
“Ada apa Suci? Kamu bisa cerita padaku,” ucap Melinda sambil mengelus elus rambut Suci prihatin.
“Aku sudah tidak kuat lagi Mel. Suara suara itu semakin gencar memenuhi pikiranku. Aku lelah.....Sangat lelah Mel. Bantu aku mengusirnya dari otakku ini. Belum lagi pikiranku yang selalu bergerak aktif bak kereta api yang melaju dengan kecepatan tinggi, tapi tak mau berhenti sedetik pun. Bagaimana caranya agar aku bisa mengendalikan suara-suara dan pikiran yang sangat melesat ini Mel!” Suci histeris kembali.
“Suci, Tuhan tidak tidur. Yakinlah semuanya akan berlalu pada waktunya dengan doa doa dan ikhtiar kita. Kamu masih percaya pada Tuhan kan? Pada kebesaran dan kekuasaannya Yang Maha Luas?”
“Entahlah Mel, entah aku masih percaya atau tidak. Yang aku tahu rasa ini sangat menyiksa hari hariku. Rasanya Tuhan telah mengujiku di luar batas kemampuanku, Mel. Haruskah aku masih mempercayai-Nya? Katakan Mel! Katakan padaku haruskah?”
“Suci, tak baik kita berprasangka buruk pada-Nya karena Dia sebagaimana prasangka hambanya. Mulai sekarang, cobalah untuk berpikir lebih positif Suci sayang. Kamu pasti bisa melewati ini semua karena sesungguhnya kamu orang yang kuat Suci. Pikiran-pikiran negatif itulah yang telah melemahkan kekuatanmu,” Melinda hanya bisa menghibur dengan kata kata yang pernah ia dengar dari seorang ustaz saat mengikuti kajian rohis dikampus.
Suci terdiam, tak lagi histeris seolah terhipnotis dengan kata kata Melinda barusan.
“Kamu pasti lapar Suci. aku belikan maem yah? Mau makan pake apa? Lele bakar atau ayam bakar?”
Suci hanya menggeleng.
“Kamu bosan ya, atau nasi rames bu Rani? Biasanya kamu sangat suka dengan masakan bu Rani,” Bujuk Melinda. Lagi lagi Suci hanya menggeleng.
“Suci, dengarkan aku. Kamu tidak bisa membiarkan tubuhmu tidak terisi makanan secuil pun. Tubuhmu membutuhkan nutrisi agar bisa terus bertenaga melakukan kegiatan,” Melinda memohon.
“Aku tak butuh tenaga Mel, toh aku juga tak punya mood[u1] untuk melakukan kegiatan apapun. Jadi, buat apa aku makan?” Suci menjawab lemah sambil memilin- milin ujung bajunya.
“Tapi kamu harus makan Suci, biar tidak gampang sakit,” sekali lagi Melinda mencoba membujuk.
“Aku memang sudah sakit kok Mel? Jadi bukan makan nasi yang aku butuhkan tapi obat-obatan kan? Seperti kata psikiater Ana.
“Pasti dokter bermaksud baik Suci, tak mungkin dia sembarangan memberimu obat kalau memang kamu tidak sakit.”
“Tapi aku juga gak suka mengkonsumsi obat obatan. Untuk apa? Biar aku bisa sembuh? Nonsen! Bagiku minum obat maupun tidak rasanya sama saja, moodku tetap kacau setiap harinya. Membuat hari-hariku begitu membosankan dan melelahkan, karena rasa ini kerap datang bergantian secara ekstrim tanpa henti. Terkadang aku begitu bersemangat dengan kecepatan pikiran yang tak mampu kutahan seolah saling berkejaran di kepalaku. Di lain waktu, semangatku terjun bebas hingga ke dasar paling terdalam.”
“Justru itu Suci, stabilizer mood adalah obat yang harus kamu minum karena berfungsi untuk menstabilkan moodmu. Makanya harus teratur diminum biar gak kacau lagi. “
“Begitu yang Psikiater Ana dan Syakir jelaskan padamu Mel? Bohong itu! Aku tak percaya obat-obatan karena semua obat itu racun! seperti yang sering diucapkan oleh Kak Hafiz.”
“Kak Hafiz? Berarti kamu masih punya kakak Suci? Dimana dia sekarang? Melinda begitu ingin tahu karena Suci belum cerita padanya.
Bukannya menjawab, Suci malah kembali menangis kala diingatkan kembali pada sosok kakak kesayangannya itu. Melinda jadi merasa bersalah karena telah menyinggung dan banyak tanya yang membuat Suci bertambah sedih. Akhirnya Suci kembali duduk merenung sambil menatap hampa lurus ke depan. Tatapannya kembali kosong dan tanpa ekspresi. Hanya jari jarinya yang masih bergerak memilin milin ujung bajunya. Suci kembali memasuki dunianya yang abu abu. Melinda tak bisa berbuat apa apa lagi.
“Baiklah Suci, aku keluar sebentar cari makanan enak yang bisa membuatmu selera. Takkan lama, kamu berbaringlah kembali,” Melinda mengusap-usap kepala Suci sambil tersenyum. Seperti biasa, Suci hanya diam, tak mengangguk juga menggeleng.
Suci kembali merebahkan badan, meskipun tidak mengantuk. Sebentar-sebentar tubuhnya miring ke kanan dan ke kiri bergantian dalam hitungan detik. Tiba-tiba energinya yang berlebih bangkit lagi. Rupanya cairan kimiawi di otaknya kembali berulah. Barusan dia menurunkan seretoninnya sampai titik minus. Sekarang naik lagi melebihi batas optimum. Suci duduk di kasur sambil kembali memilin-milin ujung bajunya. Rasanya, cairan di otaknya tak sudi menahan dirinya untuk duduk diam barang sejenak. Andai bisa ia hentikan barang sedetik saja. Lalu, suara-suara itu kembali mengusiknya tanpa henti.