Baju yang kotor, cukup dibersihkan dengan sabun. Sepatu yang berdebu, cukup disikat hingga mengkilat. Lantai yang penuh remah-remah sampah, cukup disapu hingga bersih. Tapi, hati yang telah ternoda, bagaimanakah membersihkannya?Jiwa yang tak lagi putih bersih, dengan apa menyucikannya? Agar kembali fitrah seperti asal mulanya dilahirkan.
Keesokan harinya, Ia bersiap-siap karena sudah tak sabar ingin menceburkan dirinya ke sungai suci, yang katanya terletak di tepi muara kota New Delhi. Ia sengaja datang lebih siang, dimana rencananya menjelang malam baru ia mandi. Demi menghindari ramainya warga yang datang menjelang pagi hingga siang hari. Begitu keluar kamar hotel, dua orang pria berkulit hitam dan berbadan tegap sudah menunggunya di lobby. Siap mengantarkannya ke sungai untuk membasuh diri.
Setelah sampai, ia putuskan untuk bersantai sejenak di tepi sungai sebelum berendam. Matanya dibuat takjub oleh panorama Taj Mahal yang begitu mempesona dipandang dari tepi sungai tempatnya duduk bersandar. Taman dan kolam terbentang indah di depan Taj Mahal dengan gerbang besar setinggi puluhan meter yang berhias kaligrafi. Apalagi di hari menjelang siang seperti sekarang. Bangunan dari pualam putih yang dibangun tahun 1632 atas perintah Shah Jahan untuk mengenang cinta sejatinya pada isterinya Mumtaz Mahal, terlihat begitu kontras sinar putihnya. Tatkala cahaya matahari menerobos dengan gagahnya. Tak salah bila UNESCO menobatkan Taj Mahal sebagai ‘permata seni Muslim India dan salah satu masterpiece warisan dunia yang mengagumkan’.
Pikirannya mulai terasa lebih fresh setelah dua hari ini melihat sebagian keindahan kota India. Tak lagi kusut seperti di Jakarta. Perlahan-lahan moodnya mulai bangkit meski tak sebesar dulu lagi. Tiba-tiba wanita menor itu menelepon agar mereka segera memenuhi perintahnya. Sepertinya ada hal penting yang ingin ditunjukkan wanita itu. Rencananya untuk mandi suci tertunda lagi. Ia putuskan untuk kembali ke hotel, karena menatap Taj Mahal meskipun membuatnya terkagum-kagum, namun membersitkan rasa iri di lubuk hatinya. Niat untuk menyaksikan Taj Mahal secara lebih dekat pun tak lagi menarik minatnya.
Akankah ada seorang lelaki yang akan mempersembahkan cinta sejati padanya secara indah seperti Shah Jahan pada isterinya Mumtaz Mahal? Meskipun sudah meninggal dunia sekalipun. Setidak tidaknya mempersembahkan cinta sejati untuknya kala masih hidup. Ditambah lagi sebelum ia ucapkan untuk mendatangi Taj Mahal, para pengawal suruhan wanita itu sudah menyatakan tidak akan mengantarkannya sampai masuk ke Mousoleum dengan alasan seputar Taj Mahal bebas kendaraan bermotor. Jadi mobil mereka tidak bisa masuk ke sana. Akh, bisa saja ia pergi menikmati pemandangan Mousoleum Taj Mahal dengan berjalan kaki, tapi antusiasnya terhadap sesuatu hal tak lagi sebesar dulu. Bahkan kini hampir redup tak bersisa nyalanya. Selain rasa lelah yang menghampirinya untuk segera ke hotel berisitirahat. Sebelum keesokan harinya kembali lagi ke sungai Yamuna dan Gangga.
Namun sesampainya di mobil, supir malah memutar mobil berlawanan arah sesuai perintah yaitu bukan ke hotel tempatnya menginap. Tapi menuju rumah wanita itu. Ia ikut senang karena terus-terang ingin tahu dimana rumah wanita yang telah menolongnya itu. Pastilah mewah sebagaimana penampilannya. Ternyata benar, begitu memasuki garasi, wanita itu sudah menunggunya di depan rumah dengan kurti (pakaian tradisional berupa blues yang longgar bagian bawahnya) berwarna merah menyala yang dipadukan dengan Shalawar kuning (celana lebar di bagian atas dan menyempit dibagian bawah) sambil tersenyum. Bangles (gelang) berwarna warni mencolok menghiasi pergelangan tangannya. Kalung permata bermata biru berkilau menghias lehernya yang panjang.
“Ayo masuk Suci, anggap saja rumah sendiri yah?” ajak perempuan menor itu girang.
Ia menurut saja sambil berdecak kagum menatap ornamen dan perabotan mewah yang terpajang. Rumah berlantai tiga ini bak istana mungil di pinggiran kota India. Belum lagi kolam renang lumayan luas berair biru nan jernih terhampar disisi ruangan. Benar-benar membuatnya serasa berada di istana raja. Tak hanya itu, banyak wanita muda berbaju kurtimencolok dengan celana jins yang terlihat lebih modern bagaikan dayang-dayang berseliweran di depannya. Meski terkesan tak peduli padanya, tapi tetap melemparkan senyum penuh arti. Ia ingin sekali bertanya pada wanita paruh baya tersebut mengapa begitu banyak gadis gadis seusia dirinya? Namun rasa lelah yang menghinggapi, membuatnya tak menolak saat dipersilahkan untuk beristirahat dulu dilantai dua. Sebelum dipanggil turun untuk makan malam bersama.
“Pakailah kurti pink terang dan shalawar berwarna perak ini saat makan malam nanti Suci,” Wanita setengah baya itu menyodorkan bungkusan baju padanya. Ohhh Tuhan...mengapa persis kejadiannya seperti dulu sewaktu pertama kali ia diajak Paman Herman ke rumahnya? Akankah ini menjadi surga ketiga baginya setelah sekian lama dirinya tercampak dan terusir dari surganya dulu? Surga yang pertama rumah mungilnya di Medan. Sedangkan surga keduanya di pondok indah, tempat paman Herman.