Aku Ingin Terus Menari

Impy Island
Chapter #2

Bagian Satu

Udara musim dingin menerobos celah-celah jendela, membuat partikel kecil debu yang mengambang tenang di udara buyar, meski setelahnya digantikan partikel debu lain. Rak-rak kayu jati berdiri kokoh menahan dinginnya embusan angin, membuat kami yang berjejer rapi di dalamnya merasa hangat.

Suasana kedai Nenek sore itu lengang, bahkan terlalu lengang jika dibandingkan kedai-kedai lain yang dipenuhi hiruk pikuk pembeli. Tidak heran, memang tidak setiap hari orang-orang membeli sepatu, apalagi di kota terpencil seperti ini.

Banyak orang dari golongan tidak mampu baru akan membeli sepatu jika sepatu lama mereka sudah benar-benar rusak. Sebagian dari mereka justru menambal, terlalu sayang uang untuk membeli yang baru. Padahal banyak sekali orang berlalu-lalang di depan kedai, tetapi tak satu pun dari mereka mau berhenti. Jangankan berhenti, melirik saja tidak.

Sesekali terdengar suara lonceng pintu berbunyi. Nenek pemilik kedai tersentak girang setiap kali lonceng itu berbunyi, meski setelahnya ia kembali terduduk lemas ketika sadar bahwa itu hanyalah angin kencang yang menggerakkan daun pintu.

“Aku harus segera memperbaiki engsel pintu terkutuk itu!” Nenek mendesis untuk yang kesekian kali.

Wanita tua itu kembali sibuk menjahit kulit sapi untuk dijadikan pelapis sepatu kayu. Membuat kawan baru untuk kami, walaupun setelahnya nasib sepatu itu akan sama saja seperti kami; teronggok dalam rak-rak kayu jati, tidak berharga, dan tidak dipedulikan.

“Gawat, kalau Nenek terus membuat sepatu baru, tidak ada lagi ruang yang cukup untuk menampung kita semua. Salah satu dari kita pasti tersingkir!” Sepatu ungu dengan pita di puncaknya berseru khawatir.

“Kacau, kau benar sekali!” Kawan sepatu lain berseru kesal. Kulit yang melapisinya terlihat memudar, bahkan mengelupas di beberapa bagian. “Jelas sepatu tua dan usang akan tersingkir pertama!”

“Aku harap Tuan berkacamata bundar yang datang tempo hari segera datang dan membeliku.”

“Omong kosong, dia tidak akan kembali! Seumur hidup kita berpose di kedai ini. Diturunkan, dinaikkan, dipakai, dilepas, tapi tak satu pun dari mereka mau membeli kita,” seru sepatu tua berapi-api.

“Setidaknya Nenek tidak membuang kita ke tempat pembakaran.” Salah satu menimpali lebih optimis.

“Hanya tinggal menunggu waktu sampai dia melakukan itu!” Jawaban pesimis itu seketika membuat si optimis menghela napas.

“Aku merasa harga diriku diinjak-injak.” Sepatu kecil berpengait ikut ke dalam pembicaraan.

“Semua sepatu memang diciptakan untuk diinjak, bodoh!” Yang lain menimpali.

Sepatu kecil tadi terlihat malu, saat para sepatu lebih besar tertawa mengejek. Ia memutuskan untuk menutup mulut rapat-rapat. Aku tidak tertarik mendengar percakapan mereka, setiap hari yang mereka bicarakan itu-itu saja. Pembakaran-pembeli-pembakaran-pembeli. Nyatanya, tak satu pun dari kami akan mengalami itu semua.

Biasanya jika Nenek membuat sepatu baru, dia akan meletakkan sepatu yang sudah terlalu tua ke dalam gudang berukuran satu petak, lalu membiarkan mereka lapuk termakan usia, tetapi mereka bahkan tidak menyinggung gudang sempit itu. Pikiran mereka jauh dari kata realistis.

Lagi pula, apa yang mereka bilang tadi? Semua sepatu diciptakan untuk diinjak? Maaf saja, kalimat itu tidak berlaku untukku. Aku memang bukan sepatu asli bikinan Nenek. Aku adalah sepatu bersahaja yang memiliki masa-masa jaya sendiri.

Mendapat julukan Gadis Cantik Memakai Sepatu Ajaib bersama pemilik lamaku—Giselle. Jika sepatu lain dipakai untuk berjalan, berlari, melompat, berkubang, dan hal-hal rendahan lain, Giselle hanya akan menggunakanku untuk menari.

Lihat selengkapnya