“Sepatu ini adalah kesayangannya. Sepanjang karirnya tidak pernah sekali pun dia memakai sepatu lain.” Wanita berambut pirang yang tadi menatapku terdengar bicara lirih.
Dia sudah memasukanku ke dalam kotak istimewa seperti yang biasa Giselle lakukan, dan membawanya ke hadapan orang-orang asing yang sekarang mengelilingiku. Sorot khawatir dan kesedihan terasa jelas lewat serat-serat kulitku.
“Kita bisa memajangnya. Masukan ke dalam lemari kaca, letakkan di ruang tamu atau perpustakaan.” Seorang pria menyahut, suaranya terdengar seperti penonton kaya raya yang selalu duduk paling depan saat pentas. Lamban tapi berwibawa.
“Aku tidak mau menyimpan ini, terlebih lagi memajangnya! Terlalu banyak kenangan, terlalu banyak ambisi.” Wanita pirang pertama menarik napas. “Lagi pula, dia ingin sepatu ini bermanfaat. Teronggok sebagai pernak-pernik pasti membuatnya kecewa.”
Suara lamban dan berwibawa kembali terdengar. “Kalau begitu kita daftarkan Emilia ke sanggar balet.”
Namun, suara gadis kecil terdengar kesal. “Ayah, aku tidak suka balet!”
Pria yang memberi usul tadi mengeluarkan suara ‘Hmm’, kemudian kembali bicara. “Derek, anakmu suka balet?”
“Anakku laki-laki, Kak,” jawab pria yang kutebak bernama Derek.
“Aku membicarakan Wilma.”
“Wilma bahkan belum menginjak lima bulan.”
“Baiklah, aku kehabisan akal!” Pria pertama mendesah kesal. “Kita tidak boleh membuangnya, tidak bisa memajangnya, tidak satu pun dari keluarga ini tertarik pada balet.”
“Agak menyedihkan fakta itu keluar dari mulut keluarga sang legenda balet sendiri.” Derek kembali bicara, dan aku setuju dengannya. Bagaimana mungkin tidak satu pun dari keluarga Giselle menurunkan bakat balet gemilangnya? Kedengaran sangat ironis.
“Tenang saja, aku sudah memikirkan cara supaya sepatu ini bisa berguna tanpa harus ada di rumah ini atau berurusan dengan kita semua.”
Dari percakapan itulah mereka membawaku ke tempat Nenek, menyumbangkanku dengan harapan ada penari balet berbakat seperti Giselle yang akan membeli sepatu merah cantik sebagai teman menari. Nenek sangat senang menerimaku, dia berkata optimis kalau aku akan terjual dalam beberapa hari saja. Saat itu Nenek belum setua sekarang. Dia meletakkanku pada rak istimewa agar segera terjual.