Nenek menepati janji dengan tidak menjualku kepada siapa pun, lebih karena kondisi kedai menjadi lebih sepi belakangan ini. Setiap orang yang berlalu-lalang seolah sudah melupakan kedai sepatu Nenek, mereka tidak pernah lagi melirik, apa lagi berhenti untuk berkunjung.
Padahal Nenek sudah sekian kali mengganti sepatu-sepatu di rak etalase depan dengan sepatu-sepatu yang lebih indah dan mengilap, tetapi sepertinya itu semua belum cukup untuk menarik perhatian pelanggan.
Di tengah keheningan, pintu kedai terbuka menunjukkan pria tinggi agak berisi, memiliki alis setebal kumisnya yang seolah-olah disisir rapi. Pria itu membawa beberapa roti bagel dalam sebuah keranjang. Kalau bukan karena celemek serta topi koki tinggi menutupi rambut ikal-jingganya, pasti orang-orang akan menganggap pria itu sebagai bangsawan
“Selamat pagi, Nek!” Pria itu menyapa riang. “Bagaimana perkembangan pengunjung kedai sepatu minggu ini?”
“Sangat bagus. Saking banyaknya pengunjung, aku sampai lupa menghitung jumlahnya.” Nenek menjawab tanpa berpaling dari alat jahit.
Pria itu terkekeh, “Roda berputar, Nek. Omong-omong, aku membawakan bagel dengan campuran kismis kesukaanmu.” Ia meletakan keranjang berisi bagel-nya di atas nakas dekat meja jahit.
“Oh, Ronald ... berkali-kali kukatakan, kau tidak perlu memberiku macam-macam dari kedai rotimu, aku tidak punya uang untuk membayarnya.” Meskipun bicara begitu, wajah Nenek terlihat bahagia menatap bagel-bagel panas dalam keranjang.
“Aku sudah berkai-kali juga mengatakan bahwa kau tidak perlu memikirkan bayaran sama sekali. Kau sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri.”
Nenek tersenyum pada pria itu sebagai ucapan terima kasih. Ronald adalah pemilik kedai roti yang berada tepat di seberang kedai sepatu Nenek. Usianya masih terbilang muda, ia bahkan belum menikah dan bilang masih terlalu jauh untuk memikirkan hal itu. Keadaan kedai kami sangat kontras dengan kedai roti Ron yang selalu penuh sesak oleh pelanggan.
Meski begitu Ron tidak pernah sombong, hatinya begitu baik. Ia selalu membuat roti-roti lezat khusus yang akan ia bagikan kepada fakir, gelandangan, serta manula. Nenek adalah salah satu yang tidak pernah terlewat mendapatkan kemurahan hatinya.
Pria itu melihat sekeliling kedai Nenek. Meneliti satu per satu berbagai macam model dan warna sepatu yang terpajang di sana. Meski sepi pengunjung, kedai sepatu Nenek memang terawat sangat baik.
Tidak ada debu secuil pun, bunga-bunga dijaga senantiasa segar sehingga aromanya harum, ditambah warna-warni berbagai model sepatu menjadi dekorasi tersendiri. Ronald mendecak kagum, bersiul beberapa kali.
“Harus aku akui kedaimu lebih cocok menjadi museum seni, Nek. Lihat betapa indah dan nyamannya tempat ini.”
“Tentu saja, Rob ... kau pikir kenapa orang-orang hanya masuk, melihat-lihat, lantas keluar setelah puas.” Nenek memasukkan benang ke dalam mesin jahit. “Mungkin aku harus memungut biaya melihat-lihat. Bagaimana menurutmu?”
“Sebenarnya aku punya saran yang lebih baik. Itu pun kalau kau meinzinkanku mengatakannya, Nek. Karena ... ini mungkin bertentangan dengan kenyamananmu.”