Dari balik jendela kaca sepertinya langit mulai terlihat gelap, sementara apa yang kami bahas seperti tak kunjung usai. Lihat bagaimana dr. Hardi masih duduk menjadi juru bicara di antara kami. Ia menjelaskan beberapa masalah pada jantung mas prams yang terjadi akibat kurangnya waktu tidur. Iya jauh sebelum mengenalku mas prams memang jarang tidur ia biasa berada di depan layar laptopnya hingga larut malam atau bahkan tidak tidur sama sekali. Ia seakan terobsesi bekerja, padahal sebenarnya mas prams bisa saja duduk santai ongkang kaki di rumah toh omset dari beberapa usahanya akan tetap masuk. Sepertinya obsesi itu telah terlanjur dalam ketika bayangan masa silam tak kunjung tenggelam, masa di mana ia tidak mempunyai apa-apa dan orang-orang pun menganggapnya bukan apa-apa.
"Dok.. Detak jantungnya turun lagi" Seorang suster tiba-tiba datang memotong perbincangan kami.
dr. Hardi langsung bergegas ke ruang IGD, ia meninggalkan perbincangan begitu saja. Aku, ibu, ega, dan reza berlari mengikuti dr. Hardi meski kami tidak bisa masuk ke ruang IGD. Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali berusaha mengintip apa yang sedang terjadi di dalam sana. Sayup-sayup aku mendengar seorang dokter berkata denyut jantung mas prams tidak terdeteksi.
Tiiiiiitttttt..
Dari dalam sana terdengar suara berdetit panjang seperti suara pada alat monitor jantung.
"Suara apa neng?" Tanya ibu pada ega.
"Sepertinya suara tanda detak jantungnya telah berhenti" Jawab ega apa adanya. Ingin rasanya ku tutup mulut ega agar tidak mengatakan sesuatu yang buruk segampang itu meski aku pun tau saat ini segala kemungkinan terburuk bisa saja terjadi pada mas prams.
"Maaf bu.." Ucap seorang suster yang baru keluar dari ruang IGD terputus karena tiba-tiba saja ibu meraung.
"Mpreet.." Ibu sesenggukkan memanggil-manggil mas prams.
"Apa yang terjadi sus?" Tanyaku di antara ratapan ibu.
"Maaf mbak, dokter meminta orang tua pasien untuk masuk karena kemungkinan pasi..en..." Ucap suster lagi-lagi terputus karena kini aku beranjak meminta suster untuk masuk bersamaku.
"Bu, aku janji semuanya akan baik-baik saja" Ucapku sebelum masuk ruang IGD. Lagi-lagi aku berlagak seolah aku orang yang paling berhak atas diri mas prams, aku berlagak seolah aku orang yang paling bisa mengendalikan mas prams bahkan di saat nyawanya telah berada di ujung kematian. Angkuh memang, tatkala aku berpikir bisa membelokkan sebuah takdir kematian hanya karena aku yakin mas prams menggilaiku dengan segenap hidup dan matinya.