Entah sudah berapa lama aku berdiri menatap dinding-dinding kosong tanpa lukisan ini. Tidak ada lagi sosok mas prams yang biasa aku jumpai di dalam ketegangan ruangan ini, tidak ada lagi tingkah menyebalkan ega yang kerap membuatku jengkel, bahkan tidak ada lagi celotehan masa bodo ibu yang terkadang membuat seisi ruangan terpingkal. Ah rasanya sangat sunyi. Seperti aku sedang berdiri sendiri di ruangan ini, padahal reza masih ada di sini sedang membereskan beberapa perabotan mas prams yang tertinggal.
"Bu, sudah selesai" Suara reza mengangetkan lamunanku.
"Iya za" Jawabku singkat.
Tidak banyak percakapan antara aku dan reza malam ini, sampai akhirnya reza mengantarku pulang sebelum kembali ke penginapannya.
"Bu boss, eza boleh menceritakan sesuatu tidak?" Di tengah perjalanan reza kembali membuka percakapan padahal pikiranku sedang melayang mengarungi entah yang kosong.
"Hmm.. Cerita aja, za" Jawabku setengah bergumam.
"Bu boss percaya tidak kalau dulu eza pernah menyukai bu boss?" Ucapnya mulai membuka cerita.
"Tidak percaya" Jawabku seperti malas menanggapi cerita reza yang sepertinya akan mengarah pada kegombalan terkutuknya.
"Sumpah, bu. Itu terjadi begitu saja karena eza terlalu sering melihat poto bu boss di ruang kerja si boss. Belum lagi saat itu si boss selalu menceritakan tentang bu boss, jadi eza teh semakin penasaran. Dalam bayangan eza waktu itu bu boss adalah sosok wanita luar biasa. Bagaimana tidak si boss yang selama ini acuh dalam urusan wanita saja tiba-tiba menggilai wanita segila itu" Reza melanjutkan ceritanya.
"Terus, menurutmu sekarang aku tidak seluar biasa bayanganmu waktu itu?" Aku sedikit mendengus tanda protes.
"Bahkan setelah kenal, segala sisi luar biasa bu boss terlihat kian pekat di mataku. Bu boss bukan siapa-siapanya si boss, tapi cara bu boss menjaga dan mencemaskan si boss terlihat jelas bahwa itu adalah ketulusan. Andai si boss bukan atasan eza sepertinya eza tidak akan pernah bisa mengontrol perasaan eza sendiri" Ucapnya dengan wajah cengengesan.
"Ciihh!!"