Dreeettt... Dreeettt.. Dreeettt...
Ponselku bergetar panjang tanda ada panggilan masuk, dengan mata yang masih terpejam aku menekan tombol ok begitu saja. Aku tidak mendengar suara apapun kecuali suara isak yang terdengar tersedu-sedu.
Ah sial!
Aku langsung melemparkan ponselku. Kenapa suara itu terdengar seperti suara tangisan dalam film horor. Apalagi jam masih menunjukkan pukul 5 pagi.
Siapa yang menelponku sepagi ini?
"Halo.." Sampai akhirnya aku mendengar suara seseorang berulang-ulang memanggil namaku dari seberang telepon.
Ahh.. Aku mengelus dada ternyata ega yang menelponku. Bukan hantu seperti dalam bayangan ketakutanku. Tapi, kenapa ia menelponku sepagi ini? Padahal baru sekitar satu jam yang lalu kami mengakhiri sambungan telepon setelah selesai membahas pertarungan sengit antara mas prams dan ayahnya.
"Prams tidak bisa di selamatkan" Ucapnya bersamaan dengan suara sedotan ingus encer dari hidungnya.
Hah?
Apa ega sedang bercanda seperti biasanya? Pikirku dengan rasa deg-degan luar biasa.
"Tidak bisa di selamatkan bagaimana?" Tanyaku dengan suara yang mulai terdengar menggebu-gebu padahal tadi aku masih berbicara dengan suara berat karena memang masih merasa ngantuk luar biasa.
"Prams meninggal. Baru saja uwa nelpon si teteh memberi kabar bahwa prams tidak bisa di selamatkan"
Innalillahi...
Ini serius?
Beberapa saat lamanya aku tercekat tidak bisa mengatakan apapun kecuali mendengarkan apa yang di ceritakan ega kemudian aku mematikan sambungan telepon begitu saja.
Aku mulai mengirimkan rentetan pesan protesku ke bbm mas prams, entah terbaca atau pun tidak yang pasti aku mulai kalap berharap mas prams bisa merasakan sentuhan pesanku padahal pesan-pesan yang aku kirim masih centang satu.
Mengingat apa yang telah terjadi pada mas prams rasanya memang sangat mustahil ia bisa di selamatkan. Bahkan sebelum berangkat ke singapore dokter sudah mengingatkan tentang kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi padanya.
Tapi, tetap saja aku tidak bisa menerimanya begitu saja. Bukankah mas prams selalu memberiku keyakinan tentang dia yang pasti akan selalu baik-baik saja selagi ada aku bersamanya.
Hei bukankah aku masih bersamanya meski raga terpisah oleh jarak.