Aku diam.
Mas prams pun bungkam.
Iya keadaan berubah menjadi hening tatkala lima jari ini berhasil mengukir tanda merah di pipinya.
Aku tak bergeming masih menatap sangar ke arah bola matanya yang kini tengah berbinar-binar.
"Maaf.."
Ribuan kata maaf yang tersimpan di balik sorot matanya itu kini berhasil ia eja dengan pelan. Pandangannya tertunduk seakan tidak berani menatap bola mataku yang kian melebar.
Satu menit.. Dua menit.. Tiga menit..
Aku mulai berlalu dari hadapan lelaki yang tengah terpaku pada ketakutannya itu. Ku hampiri meja dan kursi yang semula menjadi tempat sepasang mata ini saling menatap penuh canda. Dengan gerak tergesa-gesa ku kaitkan tas selempang mini yang hanya berisi satu buah ponsel itu ke bahuku.
"Maafkan aku" Tiba-tiba mas prams berdiri di hadapanku seperti sengaja menghadang langkahku.
Bulir keringat yang bermunculan di keningnya membuat wajahnya yang semula berseri menjadi sedikit lusuh.
Rasanya aku tidak tega melihat lelaki yang baru saja menyatakan cintanya itu berbicara dengan menyembunyikan pandangannya seperti anak kecil yang sedang ketakutan.
"Kamu boleh menamparku sebanyak yang kamu mau. Tapi, aku mohon maafkan aku" Ucapnya dengan suara sedikit terbata-bata.
"Apa kamu tau kenapa aku menamparmu?" Tanyaku sinis.
Mas prams menganggukkan kepalanya seakan paham betul dengan kesalahannya.
"Maafkan aku" Sekali lagi ia meminta maaf.
"Jujur saja aku kesal mendengar permintaan maafmu. Padahal, tamparan itu sebagai tanda bahwa aku telah menerimamu"