Seorang wanita paruh baya tengah berada di sebuah toko kosmetik langganannya. Ia tak lain adalah Diara, Ibu Kesya. Diara tengah memilih-milih kosmetik yang ingin ia beli.
“Apakah yang ini ada warna lebih muda?” tanya Diara pada salah satu pegawai yang ada di toko itu, dengan menunjukkan lipstik berwarna merah hati.
“Kalau warna yang lebih muda lagi, tidak ada Bu.” ujar pegawainya dengan sangat ramah. Tiba-tiba saja ia samar-samar mendengar ada yang memanggil dirinya.
Diara menolehkan kepala dan mendapati sosok Manda yang tengah berjalan ke arahnya. Keningnya berkerut, ia tengah memikirkan sesuatu dan menyimpulkannya.
‘Tunggu dulu. Di mana Kesya? Di mana anak itu? Bukankah dia bilang ingin keluar bersama Manda. Lalu, kenapa Manda hanya seorang diri?’ pertanyaan bertubi-tubi terlintas di kepala Diara. Ia mendapatkan satu kesimpulan, yaitu anaknya, Kesya telah membohongi dirinya.
“Bagaimana bisa anak itu berbohong?” Diara bergumam kecil. Ia menolehkan kepalanya melihat Manda, lalu tersenyum padanya.
“Hai Tante.” sapa Manda dengan sangat santainya, seolah gadis itu tak tahu menahu tentang Kesya yang tengah pergi. Diara hanya memasang senyum yang terlihat dipaksakan. Manda dapat melihat itu lalu ia menyeringai.
“Tante ke sini sendiri atau sama Kesya, Tan?” Manda bertanya untuk memancing Diara terpengaruh oleh dirinya.
Diara merasa dadanya sesak, ia merosot kan diri hingga terduduk di lantai. Manda yang melihat itu langsung bersikap simpati dan meminta tolong seseorang ABG ada di dekat mereka. Manda dan Diara saat ini tengah berada di rumah Kesya. Setelah beberapa saat yang lalu Ibunda Kesya mengalami sesak nafas, mereka langsung kembali ke rumah Kesya.
Diara menoleh ke arah Manda yang duduk di sampingnya. “Kamu nggak keluar jalan sama Kesya, nak?” tanya Diara dengan mata berkaca-kaca. Manda menatapnya dengan iba. Ia merasa senang bersamaan dengan rasa iba.
Manda menceritakan bahwa ia tak tahu sama sekali jika hari itu Kesya berkata ingin jalan dengan dirinya. Ia berbohong pada Diara. Memang pada dasarnya ia tak keluar bersama Kesya, tetapi ia tahu jika Kesya keluar dan meminta izin akan pergi bersamanya. Itu pun ide dari dirinya. Manda menyeringai dengan tatapan licik.
‘Kesya, sorry gua lakuin ini karena gue nggak suka lu bahagia. Gue iri sama Lo karena setiap hari Lo selalu bisa tersenyum tanpa bersedih di depan gue. Gue bahkan lebih sering merasa sedih dan jarang tersenyum. Sekarang giliran Lo yang harus ngerasain rasa sedih itu, sedangkan gue tersenyum di atas diri Lo yang terluka,' pikir Manda.
🍂🍂🍂
Kesya saat ini sudah ada di depan pagar rumahnya. Ia turun dari mobil Candra di warung makan dekat rumahnya. Ia takut jika sang Ibu mengetahui bahwa ia tak sedang jalan bermain dengan Manda.
“Dah... Hati-hati di jalan ya, Can.” ujar Kesya dengan melambaikan tangannya dan tak lupa senyum yang mengembang di bibirnya.
Candra tersenyum lebar dan melambaikan tangannya juga, lalu berujar “Iya, ya sudah cepat ke rumah. Kalau kenapa-kenapa bilang ke aku.” ujar Candra, Kesya menganggukkan kepalanya menyetujui perkataan Candra.
Lalu ia berjalan mendekati rumahnya. Sedangkan Candra sudah melajukan mobilnya kembali ke rumahnya. Kesya berjalan dengan senyum yang tak luntur di bibirnya. Sampailah di mana Kesya masuk melalui pintu depan rumah dengan mengucap salam.
“Assalamualaikum.” ujar Kesya. Ia masih belum menyadari kehadiran Manda di rumahnya sampai suara sang Ibu menghentikan langkahnya.
“Habis dari mana kamu!” tanya Diara dengan wajah memerah menahan emosi. Kesya berbalik menghadap ke arah Diara.
“Habis jalan sama Manda dong, Bu.” ucap Kesya. Detik berikutnya Kesya dibuat terkejut saat seseorang yang sedang duduk di sofa membalik badannya.
'Astaga, Manda!’ teriak Kesya dalam hati. 'Kok bisa di Manda ada di sini? Kenapa dia bisa di sini?’ sekelebat pertanyaan terlintas di pikirannya dan tak menyadari jika Diara sudah berada di hadapannya.
Plaakkkk.... Kesya meringis merasakan sakit di pipi kirinya. Ia dapat merasakan pipinya berkedut dengan rasa nyeri yang menjalar ke otaknya. Kesya menyapa sang Ibu yang sudah meneteskan air mata.
“Ibu....” ujar Kesya dengan suara lirih sambil menatap sang Ibu yang telah menangis tanpa suara. Kesya mengalihkan pandangannya ke arah Manda yang masih setia duduk bergeming di tempat yang sama. Ia menajamkan pandangannya, lalu ia melihat seulas seringai licik ter-ulas di bibir Manda.
Kesya kembali melirik ke arah Diara. “Bu... Dengerin penjelasan Kesya dulu.” pinta Kesya agar sang Ibu mendengarkan penjelasan darinya. Ia masih memegang pipinya yang masih terasa nyeri.
'Pasti bakal ada bekasnya,' pikir Kesya.
“Apa yang harus Ibu dengar dari kamu, Kesya!” Diara sedikit meninggikan suaranya, membuat jantung Kesya berdegup kencang dan peluh mulai keluar dari tubuhnya.
“Apa mau kamu! Ibu sudah kasih izin kamu untuk main. Terus apa yang kurang? Kenapa kamu bohong sama Ibu! Kamu bilang tadi jalan sama Manda, tapi Manda saja nggak tau kalau kamu izin kayak gitu ke Ibu!” Diara terengah-engah setelah mengucapkan semua itu. Air mata masih setia mengalir menemani sakit dihatinya. Ia berujar dengan sesekali menunjuk ke arah dirinya sendiri dan juga ke arah Kesya.
Kesya terdiam di tempatnya berdiri. Seakan dirinya saat ini jatuh ke dalam jurang. Langit terasa runtuh menimpa dirinya. Bagaimana bisa Manda yang ia percayai melakukan hal sekejam ini pada dirinya, sahabatnya sendiri!
‘Ibu... Coba saja Ibu beri Kesya kesempatan sekali untuk kasih penjelasan dan ibu nggak mudah terpengaruh oleh Manda. Pasti nggak akan kayak gini,' pikir Kesya.
“Jawab Ibu, Sya! Kenapa kamu bohong sama Ibu! Kapan Ibu ini pernah mengajarkan kamu untuk berbohong, Sya. Kenapa kamu sekarang kayak gini.” Diara terduduk di sofa, ia merasa tubuhnya tak kuat untuk sekedar berdiri. Kakinya seakan-akan tertusuk duri yang sangat banyak.