~~~
Cintailah orang yang kamu cintai sewajarnya, boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau Benci. Dan, bencilah orang yang engkau benci sewajarnya, boleh jadi suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau Cintai.
(Syarah As-Sunnah, 13/65)
~~~
Kesya saat ini sudah berada di dalam kamar tamu bersama Kiarra tak lupa juga dengan Malik yang tengah berdiri di ambang pintu. Kesya duduk dipinggir kasur dengan Kiarra di sampingnya.
“Tante, maaf ya kalau Kesya repot-in.” Ujar Kesya dengan raut wajah tak enak hati. Kiarra tersenyum mendengar penuturan Kesya. Ia mengelus rambut Kesya dengan senyuman dan mata yang berbinar.
“Panggil Ibu saja ya. Ibu nggak ngerasa di repot-in sama kamu, sayang. Ibu malah senang kamu bisa menginap di sini. Kalau bisa sih, Ibu maunya kamu tinggal di sini saja.” Kesya terenyak mendengar ucapan Kiarra. Ia tersenyum kikuk. Itu semua tak luput dari perhatian Malik.
“Terima kasih, Bu..” ujar Kesya dengan senyum dan langsung memeluk Kiarra. Malik berjalan mendekati kedua hawa yang tengah berpelukan.
“Bu...” rengek Malik. Kiarra melepas pelukannya dari Kesya dan langsung menatap tak suka melihat anaknya mengganggu kegiatan dua hawa yang tengah berpelukan.
“Aku juga mau di peluk.” Malik berujar dengan suara manja dan itu membuat Kesya terkekeh geli mendengarnya.
“Kamu sudah besar, Malik! Jangan manja seperti anak gadis.” ujar Kiarra dengan sarkasme. Ya, memang benar adanya. Anak lelakinya itu bukanlah seorang gadis yang harus bersikap manja.
“Malik 'kan juga mau di peluk, Bu. Masa nggak dapat sih? Kesya saja dapat pelukan hangat dari Ibu.” ujarnya dengan memanyunkan bibirnya serta wajah cemberut layak anak kecil. Lagi-lagi Kesya dibuat terkekeh kecil. Hatinya menghangat melihat mereka yang sangat akrab.
“Baiklah. Ayo kemari, kita berpelukan.” ujar sang Ibu yang sudah kembali memeluk Kesya. Malik tak diam saja. Ia langsung ikut memeluk dua wanita di hadapannya.
Kesya tersenyum saat Kiarra kembali memeluknya. Namun, jantungnya berdegup kencang saat Malik ikut memeluk mereka juga. Wajahnya merona saat sebelah tangan Malik memeluk dirinya. Ia melihat Malik yang ternyata melihatnya juga. Malik tersenyum lebar dan manis sekali. Jika saja gadis yang tengah dipeluknya dan dipeluk sang Ibu itu dapat melihatnya. Melihat semburat merah di wajah Malik.
Kiarra melepas pelukannya. Ia dapat melihat sang anak yang wajahnya tengah memerah. Begitu pun dengan Kesya yang bahkan wajahnya sudah semerah tomat.
“Ibu mau ke dapur dulu.” ujar Kiarra yang bangkit dari duduk dan berjalan meninggalkan kamar itu setelah mengelus rambut Kesya.
Suasana menjadi canggung. Kesya merasa kaku saat Malik ikut duduk dipinggir kasur.
“Emm.. Malik.. aku.. aku ke dapur juga ya.” ujar Kesya dengan suara bergetar akibat gugup. Baru saja ia berdiri dan siap melangkah. Lengannya sudah di pegang oleh lengan kekar yang tak lain adalah Malik. Kesya berbalik menghadap ke arah Malik.
Tiba-tiba saja Malik memeluk pinggangnya. Menyembunyikan wajahnya di bagian perut Kesya. Ia dapat merasakan nafas Malik menembus helai bajunya. Posisinya saat ini tengah berdiri tepat di depan Malik yang tengah duduk dipinggir kasur.
“Ma.. mal.. malik.. i-ini.. ini nggak b-benar.” Kesya terbata-bata mengucapkan kalimat itu. Ia merasa tak nyaman. Terlebih lagi mereka hanya seorang teman.
“Biarkan aku seperti ini 5 menit saja, Sya.” pinta Malik tanpa mengalihkan wajahnya ataupun mendongak mencoba melihat Kesya. Kesya diam. Ia tak menjawab apa pun. Sampai lima menit berlalu Malik menepati perkataannya dan sudah melepas pelukannya.
“Maaf, Sya.” Malik menundukkan kepalanya takut melihat Kesya. Ia merasakan kasur di sebelah kirinya mengalami pergerakan.
“Gua nggak tahu, Malik. Gua nggak tau sebenarnya lu lagi ada masalah apa. Gua juga nggak tau kenapa lu bersikap seperti tadi ke gua...” terdengar jeda di sana. Malik tak berani mengeluarkan dan memilih diam mendengarkan apa yang akan diucapkan oleh Kesya.
“... Hahhh... Kalau gua bisa pilih antara gua suka sama Candra atau lu. Gua nggak akan pilih salah satu dari kalian. Entahlah, kenapa bisa begitu. Mungkin, karena gua mulai capek sama yang namanya cinta. Mungkin gua masih punya rasa cinta di hati gua, tapi..” Kesya menjeda kalimatnya saat merasakan hatinya nyeri mengingat bahwa orang-orang yang ia percayai menyakiti hatinya.
“Ahh.. maaf gua ngomong ngelantur. Ya sudah, gua mau ke dapur bantu Ibu.” Kesya berdiri dan pergi meninggalkan Malik di dalam kamar itu seorang diri. Meninggalkan Malik dengan banyaknya pertanyaan terlintas di kepalanya akibat pernyataan Kesya.
🍂🍂🍂
Di sebuah taman yang cukup sepi sore itu. Terlihat seseorang yang tampak tengah menunggu sesuatu. Ia tengah duduk dengan melihat layar teleponnya. Tak lama kemudian ia berdiri, saat seseorang yang tengah di tunggunya datang.
Orang itu adalah Manda. Ia datang ke taman saat lelaki itu mengabarinya untuk ke sana. Tanpa basa-basi Manda langsung bertanya kenapa ia disuruh datang ke sana untuk menemui orang itu. Lelaki itu menunjukkan layar telepon genggam miliknya.
Alis Manda terangkat sebelah dengan kerutan di keningnya. “Lalu, aku harus apa dengan itu?” tanya Manda yang belum paham dengan isi otak lelaki di sampingnya. Ah lebih tepatnya pria di sampingnya.
“Kau tunjukkan ini pada orang tuanya. Maka permainan seru akan dimulai. Kau tentu tau bumbu apa yang dapat kau sebar dilingkungan sekolah itu, 'kan?” ujar lelaki itu yang seolah bertanya, namun bukanlah sebuah pertanyaan. Manda mengangguk. Smirk muncul di bibirnya. Otaknya mulai berjalan menyusun rencana jahat dengan mulus.
“Ya.. aku paham. Kau tenang saja. Ini akan berhasil.” ujar Manda yang mulai menyandarkan tubuhnya dibangku taman.
“Hari Minggu orang tuanya baru akan kembali. Datanglah ke rumahnya di hari itu.” saran lelaki itu. Setelahnya lelaki itu berjalan pergi meninggalkan Manda yang tersenyum angkuh.
🍂🍂🍂
Mansion Malik
Seorang lelaki yang sering dipanggil Kesya dengan sebutan Malik yang bernama lengkap Muhamad Ridwan Malik, tengah berbaring di atas kasur king sizenya. Sebenarnya kata 'Malik' adalah marga keluarganya dan panggilannya adalah Ridwan. Tetapi, entah kenapa Kesya malah memanggilnya dengan marganya.
Malik menatap langit-langit kamarnya. Tatapan itu kosong dan menerawang sangat jauh. Ia berpikir, bagaimana bisa ada seorang gadis yang cantiknya sangat sempurna tanpa polesan make-up. Bahkan baginya gadis itu orang kedua yang sangat cantik setelah sang Ibu, Kiarra.
Betapa indahnya pahatan Sang Pencipta. Gadis dengan wajah cantik, mata bulat, hidung tak terlalu mancung, manik hitam yang indah dan surai hitam panjang. Semua itu membuatnya terlena. Hanya saja, sangat di sayangkan. Gadis itu sudah memiliki seseorang di hatinya. Entah takdir macam apa yang ia rasakan. Sampai ia harus hadir di saat gadis itu sedang kecewa, patah hati dan terluka. Gadis itu adalah Kesya.
Kesya Az-Zahra. Seseorang yang berhasil memikat hatinya dengan kepolosan sikapnya. Tak seperti gadis yang sering ia temui, yang selalu menutupi kekurangannya. Kesya berbeda. Gadis itu justru tampil apa adanya tanpa merasa malu jika dirinya dipandang jelek. Itulah yang membuatnya suka.
Malik tersadar dari lamunannya saat ia mendengar suara ketukan pintu. Ia menolehkan matanya ke arah pintu dan mendapati gadis itu tengah berdiri di sana.
“Malik.. Ibu bilang turun ke bawah. Makan siang udah siap.” ujar Kesya yang hanya memeperlihatkan kepalanya dari balik pintu. 'Si Malik di kasih tau malah nggak jawab. Malah bengong lagi!’ batinnya.
“Malik!” Kesya sedikit berteriak. Namun, tetap tak ada respons dari Malik. Kesya mendelik kesal. Apa ia masuk ke dalam saja ya? Dan akhirnya ia pun memberanikan dirinya untuk masuk dan mengajak Malik makan siang.
“Nih orang kesurupan atau apa sih?” gumam Kesya dengan suara kesal. Ia berjalan mendekati Malik yang berada di kasur. Saat jaraknya tinggal beberapa langkah lagi, tanpa sengaja ia terpeleset dan terjatuh di atas lantai tepat di samping Malik yang tengah berbaring di sana.
Brakkk.... Malik tersadar dari lamunannya dan mendapati Kesya yang berada di lantai. Lantas ia bangkit dan mendekati Kesya yang meringis kesakitan.
“Aww... Perlu banget jatuh sih!” rutuknya dengan mengelus pergelangan kakinya yang sakit. Ia sesekali meringis.