Aku, Kau, dan Luka Yang Tak Terucap

Irfandi Rizky Tomagola
Chapter #1

Bekas Kenangan

Malam perlahan menyelimuti langit, menggantikan sore yang telah berlalu. Seiring waktu mendekati tengah malam, orang-orang mulai terlelap dalam tidur mereka. Namun, Adam Zakir masih terperangkap dalam dunia mimpi, tenggelam dalam dimensi lain yang terasa begitu nyata. Jika merujuk pada teori ruang-waktu Einstein, waktu di alam nyata berjalan lebih cepat dibandingkan dalam mimpi. Di ruangan luas nan gelap itu, Adam melayang tanpa arah, belum sepenuhnya sadar bahwa ia tengah dibuai oleh ilusi malam.

Tangannya meraba liar, mencari jawaban di tengah kegelapan. Tanpa disadari, ia telah berada di sebuah rumah tua dengan dinding yang separuh runtuh. Setelah duduk sejenak, ia bangkit dan melangkah keluar, mencoba memahami sekelilingnya. Pandangannya masih buram, debu menempel di kening dan bulu matanya, yang ia bersihkan dengan gerakan perlahan. Dari kejauhan, kepulan asap membubung, berlomba meninggalkan gedung-gedung yang telah dilahap api. Kota di depannya tampak mati—sunyi dan kelabu, dihiasi langit gerimis yang menggantung berat, seolah ragu untuk menurunkan hujan.

Adam melangkah perlahan, menyusuri puing-puing bangunan yang runtuh. Kabut tipis menyelimuti kota yang porak-poranda, sementara di kejauhan, suara tembakan, teriakan, dan dentuman samar masih terdengar. Sisa-sisa amunisi—peluru, botol pecah, dan bom molotov—tercecer di sepanjang jalan, seakan menjadi saksi bisu kehancuran yang terjadi. 

“Ini tempat apa? Aku… di mana?” bisiknya, kebingungan. 

Tiba-tiba, suara parau memanggil dari kejauhan. 

Suara itu begitu familiar, namun Adam tak serta-merta mengikuti panggilan itu. Tempat ini asing, baru pertama kali ia pijak. 

“Bapak!!!” serunya, sebelum berlari dan memeluk sosok paruh baya di hadapannya. Pelukan itu begitu erat, seolah tak ingin dilepaskan. 

“Aku rindu, Pak… banyak yang ingin kuceritakan,” ucap Adam lirih, sementara air matanya jatuh, membasahi pipi. 

Sang ayah menghela napas dalam, lalu berbisik, “Jagalah adikmu, Adam… Dialah satu-satunya yang bisa Bapak titipkan padamu. Jangan biarkan dia dihina, apalagi dirusak oleh dunia ini.” 

Pelukan itu perlahan merenggang. Sang ayah menyandarkan kepalanya di bahu Adam, seakan ingin mengabadikan momen terakhir bersama putranya..

"Bapak, jangan pergi dulu... Tuhan masih sayang pada Adam dan Riska. Tuhan pasti iba jika kami harus hidup tanpa nasihat baik dari Bapak dan Ibu. Tuhan tahu kami belum siap... kami masih butuh kalian..." 

Tangis Adam pecah, mengguncang tubuh yang terkulai di pangkuannya. Hatinya remuk, patah, menolak percaya. Berulang kali ia menggoyangkan tubuh itu, berharap ini hanya tidur sejenak. 

"Bapak... ayo kita pulang. Keadaan di sini tidak aman. Riska dan Ibu menunggu di rumah... Bapak, bangun..." 

 

Namun, yang ia panggil tetap diam. 

Manusia memang begitu. Ketika dilimpahi kemudahan, harta, dan kebahagiaan, mereka sering lupa akan Tuhan. Namun, saat dirundung derita, kehilangan, dan nestapa, nama Tuhan tiba-tiba disebut, kadang dengan doa... kadang dengan amarah. 

Adam merasakan getir takdir yang terasa begitu kejam. 

"Mengapa Tuhan begitu cepat merindukan orang tua kami? Kenapa mereka harus pergi begitu saja? Tuhan merampas segalanya... canda tawa, belaian penuh kasih, tempat kami bersandar. Yang tersisa hanyalah luka... dan sepi."

Air matanya jatuh tanpa suara, membasahi tanah yang telah menyerap begitu banyak kehilangan.

"Abang... Abang..." 

Suara sayup terdengar di telinga Adam. Suara seorang perempuan, mungkin lebih muda darinya. Kota yang tadi ia lihat begitu nyata kini kembali gelap. Sosok orang tua yang ada dalam pangkuannya menghilang. Sekali lagi, ia melayang dalam ruang hampa yang sunyi. 

"Abang, sudah ditunggu anak-anak lain." 

Suara itu kembali memanggil, semakin jelas. 

"Abang, waktunya Tahajud!" 

"Astaghfirullah..." 

 

Adam terperanjat, terbangun dari tidurnya. Ia menatap seisi ruangan, napasnya masih tersengal. Di hadapannya, Riska—adiknya—menatap dengan wajah bingung. 

"Mimpi yang sama lagi, Bang? Sudah berapa kali?"

Adam tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, berusaha menguasai diri. Setelah cukup tenang, ia memasang senyum kecil, mencoba menutupi gelisahnya. 

Kenangan bagi mereka bukan sekadar cerita lama yang bisa dilupakan dengan sekali nasihat. Luka itu sudah lama dijahit, namun tetap terasa setiap kali tersentuh. 

"Sudahlah, lupakan saja. Mana yang lain?" 

"Mereka sudah di aula, tinggal Abang saja." 

"Bisa kan kalau mereka menunggu sebentar? Abang mau mandi dulu. Kalau memang sudah masuk waktu Tahajud, mereka boleh mulai, nanti Abang menyusul. Malam ini siapa yang jadi imam?" tanya Adam sambil meraih handuk. 

"Faiz. Dia bangun lebih awal dari yang lain. Sepertinya biar hafalannya makin lancar," jawab Riska. 

Lihat selengkapnya